“You haven’t done Paris right until you’ve had at least one wildly inappropriate affair,” kata Mindy, seorang pengasuh asal Tiongkok dalam film Emily in Paris. Emily keheranan, moralnya terusik.
Sejenak ia menunjukkan wajah seolah bertanya bagaimana bisa orang-orang di Paris menganggap perselingkuhan sebagai perbuatan yang wajar? Sementara di Chicago, tempat asal Emely, perselingkuhan adalah ‘racun’ dalam sebuah hubungan.
Lain waktu, Emily mencium bau tidak sedap ketika sedang bergosip di sela makan siang. Hanya Emily, tidak dengan Luc dan Julien, dua rekan kerja sekaligus teman bergosip yang saat itu berada satu meja dengannya.
Usai bergosip, akhirnya Emily sadar sumber aroma tidak sedap itu bersumber dari sepatunya yang tidak sengaja menginjak kotoran hewan. Sebegitu terbiasakah Luc dan Julien sebagai orang Paris dengan aroma kotoran hewan?
Adegan di atas adalah dua dari banyak adegan lain di Emily in Paris, film seri bergenre komedi romantis dari Netflix yang rilis 2 Oktober 2020 lalu. Bercerita tentang Emily, perempuan asal Chicago, Amerika, yang mendadak ditugaskan untuk bekerja pada salah satu agen pemasaran di Paris.
Mulanya, Emily menganggap kesempatan itu adalah kabar baik. Bagi Amerika, Paris adalah kota indah nan romantis. Bekerja dan tinggal di sana merupakan impian banyak orang Amerika. Nyatanya, setelah tiba di Paris, perlahan ia dikejutkan tentang fakta-fakta yang bertolak belakang dengan ekspektasinya di awal.
Darren Star sangat piawai mengemas film ini tontonan yang ringan, menyenangkan, tapi tetap mampu mengangkat isu-isu penting yang sayangnya, jarang dibicarakan dengan serius. Sutradara yang juga menjadi tokoh penting dibalik kesuksesan film seri Sex and City tersebut, juga berhasil membuat Emily in Paris menjadi tontonan yang tidak membosankan.
Alur cerita film yang berlangsung cepat, pemilihan artis dan aktor yang sudah berbakat, menarik dipandang pula, hingga penguatan karakter Emily melalui pemilihan busana, adalah siasat yang bagus untuk membuat penonton betah melakukan marathon 10 episode dalam satu malam.
Terlebih unsur komedinya yang kuat dan berkarakter. Tidak seperti drama Amerika pada umumnya. Emily in Paris berhasil membuktikan bahwa kelucuan dalam sebuah film komedi romantis tidak hanya dapat ditampilkan melalui tingkah laku sepasang kekasih saja. Budaya di latar tempat pada film, juga bisa diolah sedemikian rupa hingga mengundang gelak tawa.
Baca Juga: Menjual Romansa di Film Indonesia Rasa Luar Negeri
‘Mengejek’ Keangkuhan Prancis dalam Emily in Paris
Darren Star adalah seorang Amerika. Artinya, sangat mungkin penonton menganggap Darren sengaja menggambarkan orang-orang Prancis tidak ramah dan sombong untuk memojokkan Prancis. Hal ini bahkan telah terjadi di jagat twitter, dimana beberapa utas melakukan kritik terhadap film Emily in Paris dan menilai kalau film tersebut mengejek orang-orang Paris
Lagipula, walaupun tidak menyukai basa-basi, orang-orang di Paris selalu bertegur sapa satu sama lain seperti mengucapkan Hi atau Bonjour.
Masalah ini barangkali bisa teratasi jika Darren memberikan porsi yang seimbang antara realitas dan penjelasan masuk akal. Seperti, alasan di balik sikap ‘dingin’orang-orang Prancis adalah keengganan untuk berbasa-basi. Atau, fakta bahwa orang-orang di sana menjunjung tinggi kejujuran dan keterusterangan, sehingga lebih mudah mengatakan ketidaksukaan mereka terhadap sesuatu.
Ketidakberimbangan Darren dalam menggambarkan Paris juga kental dalam adegan-adegan dimana Emily memulai pembicaraan dengan bahasa Inggris. Tidak jarang lawan bicara Emily menjawab dengan ketus atau bahkan tidak menjawab pertanyaan tersebut.
Perlu diketahui bahwa orang-orang di Paris sangat menghargai dan bangga terhadap bahasa ibu mereka. Makanya penting untuk memulai percakapan dengan bahasa mereka agar mendapat balasan yang tepat, namun sayang, penjelasan macam ini dirasa kurang ditonjolkan.
Alih-alih hadir memberikan penyeimbang, Darren kerap memberi ‘label’ bagi orang-orang Prancis dengan meminjam “Mindy” sebagai pembicaranya. Dalam sebuah adegan percakapan antara Mindy dan Emily, Mindy berkata, di negara asalnya, Tiongkok, orang-orang berbuat jahat di belakang, seperti. Sedangkan di Prancis, orang-orangnya “mean to your face (berbuat jahat di depan wajahmu).”
Baca Juga: The Age of Adaline, Merasakan Lelahnya Awet Muda
Menertawai Amerika Lewat Emily
Darren menggambarkan Emily sebagai seorang yang gila kerja dan kelewat rajin. Di salah satu Episode, Emily datang ke kantor terlalu pagi. Belum ada rekan yang datang dan itu jelas, karena budaya Prancis lebih santai ketimbang Amerika. Di sana kantor baru buka jam 10.30.
Pada episode-episode awal, Emily digambarkan bertingkah seenaknya, enggan berbahasa Prancis dan seolah-olah ingin membuat rekan kerjanya mengerti secara implisit “aku tidak bisa bahasa Perancis tolong mengertilah dan berbicaralah dengan bahasa Inggris”.
Tingkah Emily benar-benar digambarkan Amerika sekali dan sebagaimana Amerika pada umumnya, ia terus merasa hebat, memuja-muja budaya di negaranya dan sesekali kurang peduli pada budaya luhur di tempat tinggal barunya, Paris.
Jika sejak kecil, seorang bayi tidak pernah mengenal susu, maka sulit baginya ketika dewasa memahami apa dan bagaimana rasa susu. Begitu pun Emily, ia akan sulit memahami apa dan bagaimana budaya dan tradisi di Paris bekerja.
Contoh paling nyata dapat dilihat dari gaya berpakaian Emily selama di Paris. Sepanjang cerita, Emily disosokkan dengan seseorang yang berpakaian glamour, dengan warna-warna yang mencolok. Barangkali, di Amerika hal ini bisa dianggap gaya berpakaian yang mewah. Di Prancis, hal tersebut justru mencitrakan Emily, sebagai remaja seperempat abad, anak dari keluarga kaya, yang bebas menggunakan kartu kredit ayahnya.
Ya namun, walau bagaimanapun, tidak bisa dipungkiri kalau inilah letak komedi dalam Emily in Paris. Melalui Emily, dengan gaya berpakaiannya yang mencolok, serta tingkahnya yang kadang menyebalkan, penonton jadi punya alasan untuk bersama-sama menertawai seorang Amerika yang merasa hebat, tapi layak ditertawai.