Fenomena The Nuruls dan Iklim Media Sosial Hari ini

Fenomena The Nuruls dan Iklim Media Sosial Hari ini

Fenomena The Nuruls dan Iklim Media Sosial Hari ini
Ilustrasi oleh Arkandy Velkan Gisaldy

Semakin berkembangnya konten-konten The Nuruls membuat saya merasa resah karena banyak yang sudah terlalu jauh, negatif, dan seperti penghinaan.

Belakangan ini, jagat Tiktok dan X (Twitter) diramaikan dengan fenomena melabeli seseorang berdasarkan apa yang dipakai, apa yang melekat pada tubuhnya, dan pada apa yang digunakan.

Misalnya, seperti tato kecil dan sepatu docmart pada mbak-mas Skena, hoodie dan celana pendek oleh cowo-cowo The Nopal, kerudung sport dan outer serta seblak pada mbak-mbak The Nuruls, dan lain-lain.

Beberapa waktu terakhir, istilah the Nuruls kembali ramai karena sempat di-mention oleh Halda di salah satu channel Youtube milik Deddy Corbuzier.

Sejak itu, konten-konten The Nuruls jadi sering lewat di for your page (FYP) Tiktok saya. Namun, semakin berkembangnya konten tersebut membuat saya merasa resah karena banyak yang sudah terlalu jauh, negatif, dan seperti penghinaan.

Baca Juga: Sesat Pikir Konten Bersyukur ala TikTok

Stigma yang Melekat karena Selera Fashion

The Nuruls diidentifikasikan sebagai perempuan berkerudung yang suka jajan mi Gacoan, seblak, sering pake outer, dan mengendarai motor Scoopy.

Ada pula yang menambahkan kalau The Nuruls suka nongkrong di Bajawa atau tempat clubbing versi halal karena nggak ada alkohol.

The Nuruls juga sering dikatain specs mbak-mbak kabupaten dan dianggap berasal dari kelas ekonomi menengah ke bawah oleh netizen.

Ada banyak versi awal kemunculan istilah The Nuruls ini. Mulai dari stereotip terhadap perempuan muslimah berhijab tapi hidupnya penuh kontradiksi. Misalnya, mereka suka party, tapi gak suka minum. Kata netizen, munculnya soju halal gara-gara mereka.

Lalu, suka baca BL tapi homofobik. Tiktokan pake lagu christmas tapi “christmas-nya” disensor. Terus, mereka juga yang suka men-sexualize idol-idol Kpop di Twitter. Kayak bilang “rahim anget” setelah lihat idol Kpop mereka.

Itulah mengapa istilah The Nuruls jadi negatif di mata orang-orang.

Namun, makin ke sini, istilah tersebut meresahkan bagi perempuan. Khususnya untuk perempuan yang kebetulan memiliki selera fashion seperti the Nuruls. Yakni, memakai kerudung sport, outer atau kardigan rajut dengan warna pastel—khususnya lilac, kacamata bulat, helm bogo, dan berkendara menggunakan motor Scoopy

Banyak perempuan berkerudung merasa tersinggung karena terdampak langsung oleh tren istilah ini. Beberapa orang membuat konten tandingan seperti meng-upload video dengan menampilkan foto dengan tulisan “The Nuruls? No, I’m not.

Jarang beli seblak. Kalau lagi pengen, prefer masak sendiri. Terpantau tidak pernah beli Gacoan (sambil nunjukin history Gr**food atau G*food), G*car karena nggak punya kendaraan, I mean Scoopy. Nggak punya outfit The Nuruls, nggak suka pake kardigan karena panas.”

Seakan antisipasi banget takut dicap sebagai perempuan dengan image The Nuruls.

Yaa iyalah, siapa yang nggak tersinggung dicap dengan sesuatu yang stigmanya jelek?

Tapi, gimana kalo ada orang yang nyaman dan udah enjoy banget pake outfit ala The Nuruls, dan mereka jadi terganggu dengan konten ini.

Kan, sebenernya bebas aja orang mau berpakaian apa. Dengan adanya konten The Nuruls dan tandingannya, seakan… fashion The Nuruls tuh ilegal, sangat hina, dan ada anjuran jangan pake outfit kayak gitu.

Pakaian Tidak Selalu Mencerminkan Kepribadian Seseorang

Hubungan antara fashion dan kepribadian pernah ditinjau dalam artikel “Fashion and Personality: A review of Literature” oleh Jennifer L. Crocker dan Deborah L. Thorne tahun 2001.

Temuannya menunjukkan bahwa pakaian memang dapat memberikan informasi tentang kepribadian seseorang. Namun, hubungan tersebut kompleks dan tidak selalu konsisten.

Saya merasa kasihan dengan mbak-mbak yang kebetulan sedang mengenakan outfit ala The Nuruls, atau yang sekadar merasa nyaman aja mengenakannya, kemudian dicap dengan stigma jelek itu.

Sekalipun itu buat becandaan atau bahan konten, kalau memposisikan diri sebagai mbak-mbak itu, rasanya kok gimana gitu yaa.. Berasa kena getahnya. Atau… emang ini haram kahh sampai patut dicelathu?

Padahal, ada banyak faktor lain yang dapat memengaruhi kepribadian seseorang. Seperti genetika, lingkungan, dan pengalaman hidup. Poinnya adalah penting untuk tidak membuat generalisasi tentang kepribadian seseorang, apalagi jika hanya berdasarkan penampilannya saja.

Iklim Medsos yang Mulai Toxic

Banyaknya konten outfit ala The Nuruls, membuat saya merasa bahwa semakin ke sini media sosial tidak hanya sebagai ruang ekspresi, tapi juga membuka ruang penghakiman.

Banyak yang dengan mudahnya menghakimi orang lain sekalipun belum bertemu satu sama lain serta menilai hanya berdasarkan foto atau video berdurasi 1 sampai 3 menit saja, apalagi penuh editan dan settingan.

Tak jarang, orang-orang di media sosial hanya ikut-ikutan menghakimi dan membully, tanpa tahu konteksnya, yang penting ikutan yang lagi viral atau tren.

Seperti yang baru-baru ini juga terjadi di Tiktok tentang anak berumur 19 tahun bernama Luker Feller, atau Aulia Rafly Lubis, yang menjabat sebagai manager di sebuah perusahaan di Amerika.

Terlepas dari anggapan bahwa Luker berbohong serta konfliknya dengan Alvin, saya sebel dengan netizen yang seakan membully Luker. Ikutan nimbrung ngata-ngatain Luker, padahal hanya melempar opini yang mengekor tanpa substansi yang masook. Sampai memparodikan video-video yang dibikin oleh Luker.

Yap, semua itu dilakukan oleh banyak orang karena aji mumpung, ingin ikutan tren, dan traffic video yang dibikin ikutan naik. Semua itu dilakukan tanpa mencari atau menunggu kebenarannya.

Mirip dengan film Budi Pekerti, ketika tokoh utama, Bu Prani, sedang memberi pemahaman kepada salah satu pengunjung yang menyerobot antrean. Karena pengunjung itu nyolot, Bu Prani ikutan nyolot, sehingga terdengar mengatakan “asu i” padahal mengatakan “ah suwi”.

Tanpa sepengetahuan Bu Prani, ada seseorang yang merekam dan mengunggahnya pada media sosial. Selanjutnya, video yang telah diunggah tersebut akhirnya viral dan mendapatkan komentar negatif. Netizen menilai sikap Bu Prani tidak mencerminkan seorang guru yang baik.

Dari viralnya itu, orang-orang yang tidak tahu-menahu, tidak juga mencari tahu kebenarannya, bahkan tidak peduli, malah ikutan tren dengan membuat bahasan asumsi sampai parodi karena sedang tren dan traffic-nya oke.

Padahal, Bu Prani tidak bersalah. Betapa menyebalkan dan sangat tidak etis, kan!!

Orang-orang melupakan esensi bermedia sosial. Kini, yang dipikirkan hanyalah apa yang sedang tren dan dapat menaikkan viewers saja.

Orang yang tingkah lakunya buruk di media sosial, yaa, memang manusiawi kalau kita celathu. Apalagi jika membawa pengaruh yang buruk, yaa, perlu banget dibilangin. Diberi hukuman sosial atau mungkin laporin aja akunnya. Kelar.

Tapi, kalau di-bully? Apalagi kalau kita belum tahu benar konteksnya serta belum terbukti kebenarannya. pakah dibenarkan kita membully dan men-judge-nya?

Editor: Ahmad Gatra Nusantara
Penulis

Mita Berliana

Instagram: @berliana_mita
Opini Terkait
Dear Mental Health Professional…
Ramai ‘Kamisan Date’, Emang Apa Salahnya?
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel