Hidup Sebagai Burung Hantu di Dunia Burung Kepagian

Hidup Sebagai Burung Hantu di Dunia Burung Kepagian

Kami dicap tidak memahami betul manfaat bangun di pagi hari. Duh!

Sering begadang kerap membuat kepala saya pening bukan kepalang. Belum lagi terbebani keharusan bangun pagi yang mesti diniatkan pada pukul 4 pagi. Familiar bukan?

Hal semacam ini sepertinya kerap dialami para pekerja, pelajar, dan juga mahasiswa semester pertengahan hingga akhir. Terlepas dari itu, saya merasa perasaan dan pikiran saya justru lebih cemerlang saat jarum jam menunjukkan pukul 2 malam.

Tetapi, tunggu, jangan anggap enteng masalah ini. Rhoma Irama sang Raja Dangdut Indonesia mengingatkan kita soal bahaya begadang:

Begadang jangan begadang
Kalau tiada artinya
Begadang boleh saja
Kalau ada perlunya

Kalau terlalu banyak begadang
Muka pucat karena darah berkurang
Bila sering kena angin malam
Segala penyakit akan mudah datang
Darilah itu sayangi badan
Jangan begadang setiap malam

Tapi, kalau gue lebih semangat beraktivitas di tengah malem, gue bisa apa?

Memang enggak gampang berkompromi soal ini dengan diri sendiri. Saya salah satu dari sekian banyak korbannya. Sejauh pembacaan saya pada sekian artikel, banyak yang menunjukkan seberapa bahayanya dampak di kemudian hari jika kebiasaan ini tetap dilanjutkan. Artikel-artikel semacam itu bertebaran, dan membikin saya ketakutan.

Di satu sisi, saya mau menghentikan kebiasaan buruk ini, tetapi di sisi lain saya juga merasa waktu pagi bukan diciptakan untuk saya. Tidak ada ide yang mengalir ketika cahaya matahari menyusup masuk dari jendela kamar saya. Orang-orang yang doyan begadang hidup seperti burung hantu dan berteman baik dengan malam.

Meskipun artikel-artikel tersebut sudah berbuih menguliahi saya soal kesulitan menjadi seorang night owl (orang yang terjaga di malam hari) dan perlunya mengubah diri menjadi sosok yang baru (baca: early bird—kaum yang mudah bangun pagi). al tersebut tidak segampang yang mereka pikir.

Saya tidak ingin berubah, tetapi saya pun memahami dampak buruknya kalau kegiatan di tengah malam ini tetap saya lanjutkan. Hingga saya berjumpa dengan satu ungkapan ini: “Para night owl hidup di dunia yang dirancang dan diciptakan oleh para early bird.”

Dan benar saja. Segala hal yang kita lakukan, yang setidaknya menentang prinsip hidup mereka, selalu disalah-maknakan. Para night owl cenderung dicap sebagai orang-orang pemalas, tidak produktif, dan sederet tetek-bengek lainnya. Kami hidup di dunia yang menjanjikan kita kesuksesan kalau kita bisa melek di waktu pagi. Kami dicap tidak memahami betul manfaat bangun di pagi hari. Duh!

Halo, kalau kami bisa mengecap manfaatnya, sudah pasti kami tidak bakal merasa terbebani beraktivitas ketika matahari pagi menyinari. Kenyataannya, kami lebih merasa segar dan ide-ide sontak mengalir deras kalau kami melek di waktu mata kalian merem!

Tidak, saya sama sekali tidak berniat menganjurkan orang buat begadang. Saya tidak membenarkan perilaku ini. Tetapi, mesti kita pahami bersama-sama bahwa setiap kronotipe orang itu berbeda-beda, bahkan menurut penelitian faktor genetik menjadi salah satu penyebabnya.

Nah, lho, apalagi tuh kronotipe?

Randler, C., dkk (2017) dalam Chronotype, Sleep Behavior, and the Big Five Personality Factors melihat kronotipe merujuk pada perbedaan setiap individu soal jam tidur dan preferensi mereka untuk “hidup” dalam suatu hari. Ada yang tipe pagi, dan ada pula yang tipe malam. Jadi, setiap orang punya energi penuh seperti sehabis di-charge di waktu-waktu berbeda. Kalau tipe pagi, berarti kamu bakal lebih ‘hidup’ di waktu pagi, dan sebaliknya.

Orang dengan kronotipe tipe malam disebutkan memiliki risiko yang bejibun ketimbang tipe pagi. Dari mood yang gampang berubah-ubah, terganggunya metabolisme tubuh, depresi, hipertensi, obesitas, sampai kanker. Memang sederet risiko itu bukan hanya terdengar nyeremin, tetapi itu pertanda bahwa sebisa mungkin perlu kita hindari.

Lalu, kita mesti gimana? Mengikuti arus tipe kronotipekita dan, amit-amit banget, tinggal menunggu penyakit menjangkiti, atau membiasakan diri beradaptasi hidup yang bukan kita banget, dengan lain kata jadi kronotipe tipe pagi?

Buat saya pribadi, pilih apa yang paling cocok buat diri sendiri. Toh, yang tahu seenak apa rasa sepi menjalari di waktu malam hari hingga mampu menyegarkan otak saya, ya, diri sendiri—yang imbasnya saya jadi lebih enjoy dan maksimal dalam mengerjakan pekerjaan saya. Enggak ada suara bising memang yang saya cari, dan itu hanya bisa saya temui di malam hari. Jadi, soal “hidup” di malam hari atau pagi hari bisa disesuaikan dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing.

Tapi, saya mau coba pelan-pelan untuk tidak selalu tidur di waktu rawan ini. Saya jelas takut sama efek begadang segunung menggerogoti saya pelan-pelan itu. Kalau lagi nganggur, gak ada kerjaan numpuk, atau di hari libur, gak ada salahnya saya coba untuk memejamkan mata di awal waktu.

Singkatnya, leha-leha dan rebahan di tempat tidur, dan buat suasana kamar mendukung, seolah-olah memberi sinyal pada tubuh bahwa sudah waktunya kita tidur. Letakkan laptop dan ponsel jauh-jauh dari mata. Ambil buku yang paling ngebosenin buat menemani perjalanan tidur kita. Pekikan niat dalam hati, besok saya mau bangun pagi, karena mau berolahraga. Yang penting niat dulu, kan?

Jadi sekali lagi, silakan disesuaikan dengan kehidupan masing-masing. Ada yang memang dituntut untuk bekerja di tengah malam karena kebagian shift malam, misalnya. Ada pula pekerja yang sebetulnya seorang night owl, tetapi waktu kerjanya dimulai jam delapan pagi.

Kalau mengganggu performa kerja, coba bicarakan dengan orang sekitar. Halangan-halangan ini bisa sepenuhnya dimengerti. Karena pada akhirnya, kita yang menjalani hidup ini dan kita cukup tahu apa yang terbaik untuk diri sendiri. Asal, jangan lupa tetap menjaga kesehatan, itu paling penting.

Sekarang, waktunya saya mematikan laptop sebab jarum jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Ingat, kata bang Rhoma:

Begadang jangan begadang
Kalau tiada artinya
Begadang boleh saja
Kalau ada perlunya
Editor: Rifky Pramadani J. W.
Penulis
Rania Alyaghina

Rania Alyaghina

Garing di luar, lembut di dalam.

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel