Kalau Kampusmu Rasa Apa?

Kalau Kampusmu Rasa Apa?

Kampus Rasa Pabrik min
Kampus Rasa Pabrik min

Sebagaimana Divergent, manakala ada mahasiswa bergerak di luar polarisasi para pejabat kampus, mereka dianggap sebagai ancaman, lantas patut disingkirkan.

Penasaran dengan hukuman skorsing yang menimpa Rezki Ameliyah & Mohammad Nur Fiqri, saya coba menelepon beberapa kawan di Makassar. Kebetulan mereka juga mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas). Tempat ditempelnya poster bertuliskan “Kampus Rasa Pabrik” yang menyebabkan dua mahasiswa penempelnya sempat dihukum skorsing oleh pihak kampus, meskipun akhirnya hukuman itu dicabut.

Sedikit-sedikit informasi saya himpun dari percakapan dengan kawan-kawan di sana. Sambil sesekali mengikuti anjuran mereka untuk berselancar di dunia maya demi mengetahui lebih banyak tentang perkembangan kasus tersebut. Ya, sebenarnya, belakangan ini saya sedang mengurangi intensitas berselancar di gelombang arus media siber. Selain karena sibuk bikin gorengan di Omah Diksi, dengar-dengar gelombang media siber terlalu tinggi. Saya takut hanyut.

Lagipula dengan mengutamakan komunikasi langsung dengan kawan-kawan di Makasar, saya jadi mendapatkan sesuatu yang mungkin tidak akan saya dapat, ketika saya mengandalkan informasi dari media siber. Sesuatu itu berupa pertanyaan balik yang menurut saya cukup nyelekit:

Kampus Rasa Pabrik
sumber: liputan6

“Kampusmu Rasa Apa?”

Rasanya semua kampus itu rasa pabrik. Kalau tidak rasa pabrik mungkin rasa peternakan, karena mahasiswa bisa jadi sapi yang terus-menerus diperah susunya duitnya oleh kampus. Di Malang, banyak kawan saya yang secara khusyuk menjuluki kampusnya dengan julukan serupa “Kampus Rasa Pabrik”. PT. Bravijaya Tbk. dan Universitas Mahal , adalah salah dua sebutan untuk mengolok-olok kondisi kampus kami saat ini.

Ada sebuah film menarik yang barangkali cukup menggambarkan bagaimana PT. Universitas berjalan dan berhasil memproduksi tenaga kerja terampil. Film Divergent keluaran 2014. Film ini menceritakan dunia di mana orang-orang di dalamnya sudah ditentukan secara sistematik mengenai pekerjaan apa saja yang boleh mereka kerjakan.

Ada lima faksi yang digolongkan secara jelas dan disematkan kepada setiap penduduk kota dalam film ini. Erudite, Amity, Candor, Dauntless dan Abnegation. Masing-masing faksi tersebut memiliki karakter dan keunggulan masing-masing. Erudite yang terkenal dengan kepintarannya, Amity dengan gaya hidup bercocok tanam, Dauntless dengan kekuatannya, Candor dengan kejujuran dan ketertibannya, serta Abnegation dengan karakter selfless mereka.

Di luar kelima faksi tersebut, sebenarnya masih terdapat satu golongan lain. Mereka digolongkan sebagai non-faksi. Orang-orang di dalamnya adalah gelandangan, kaum yang dianggap tak berguna. Mereka hidup terasingkan, sebab sistem yang berlaku mengharuskan begitu.

Penggolongan setiap faksi dalam film ini memang didasari oleh karakter dari masing-masing anggota faksi. Namun, penggolongan semacam itu justru menjadikan kehidupan mereka tersekat-sekat. Setiap orang secara tidak sadar bisa jauh dari dunia sekitar, bahkan dari keluarganya sendiri. Sebab ketika dewasa, mereka diharuskan memilih faksi yang sesuai dengan kompetensi dan keinginan mereka, sekalipun berbeda dengan faksi orang tua.

Dan disinilah, Beatrice yang kelak dipanggil Tris, tokoh utama dalam film ini mulai terbukti tak memiliki kecocokan dengan faksi manapun. Walhasil, ia disebut sebagai Divergent. Tidak seperti faksi lain yang mengisi waktu mereka dengan “kerja”, sampai-sampai meyakini bahwa tidak ada kehidupan lain selain “kerja”, Divergent lebih cenderung hidup semaunya sendiri.

Keberadaan Divergent merupakan sebuah ancaman yang dianggap dapat mengganggu dan merusak sistem. Itu mengapa dalam film tersebut, keberadaan Divergent harus disingkirkan. Konflik dalam film ini pun mulai dipertunjukkan.

Pola-pola yang terdapat dalam Divergent, tak jauh berbeda dengan kehidupan kampus masa kini. Dimana mahasiswa dijejali berbagai macam tugas, yang justru menjauhkan mereka dari masyarakat. Ernest Mendel, yang dalam pidato panjang lebarnya pada acara “Majelis Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner” lebih tegas mengatakan bahwa polarisasi kehidupan di perguruan tinggi telah menjadikan mahasiswa terpisah dari tukang sapu jalan, toko kelontong depan kost, bahkan pemilik kantin.

Padahal, mereka yang disebut dengan tenaga kerja intelektual itu memiliki kewajiban mengimplementasikan apa yang mereka dapat di bangku kuliah. Implementasi itu salah satunya ada pada kritik-kritik radikal terhadap kebijakan yang mengesampingkan pemilik kantin, yang kini sudah tergusur karena kantin harus berubah menjadi a la foodcourt dan hanya boleh dimiliki keluarga pejabat kampus.

Lantas sebagaimana Divergent, manakala ada mahasiswa bergerak di luar polarisasi para pejabat kampus, mereka dianggap sebagai ancaman dan patut disingkirkan. Mirip dengan dua mahasiswa Unhas, atau mungkin Divergent dari kampus lainnya.

Jadi, sudah jelas sekali bagaimana PT. Universitas Tbk, bekerja. Masih ada kampus yang tidak rasa pabrik? Kalau masih ada, syukurlah, saya punya kesempatan untuk menjual gorengan di sana.

Editor: Redaksi
Penulis
Scribble

Fajar Dwi Ariffandhi

hidup vegan daging pun tak mau
Opini Terkait
Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Budaya Toksik Pasca Sidang Tugas Akhir
Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI
Topik

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel