Saat Kepercayaan Rakyat Anjlok, Pemerintah Kudu Ngapain?

Saat Kepercayaan Rakyat Anjlok, Pemerintah Kudu Ngapain?

Ujian Integrasi Bangsa
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Kebebasan ruang berpendapat melalui media sosial tidak harus dikebiri dengan aturan-aturan pembatasan. Justru kicauan netizen patut dilihat, jangan sampai hanya dianggap angin lalu.

Agaknya, pemerintah Indonesia punya problem serius perihal mengambil hati rakyat. Di lini masa media sosial, kita bisa melihat banyak sekali masalah yang menguji integrasi bangsa. Saya akan membahas setidaknya dua saja, peristiwa yang belakangan ini menjadi sorotan publik dan cukup awet diperbincangkan serta sejauh mana ini mempengaruhi trust rakyat kepada pemerintah.

Pertama soal pajak. Peristiwa ini cukup mind blowing. Berawal dari kasus kekerasan seorang anak muda kemudian merambah pada pemeriksaan terhadap adanya aliran dana tak lazim di rekening ayahnya yang merupakan pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Tak berhenti di situ, tragedi ini membuat beberapa pejabat yang bergaya mewah juga diperiksa hartanya. Serangkaian kejadian ini membuat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengeluarkan pernyataan bahwa sejak tahun 2007 hingga 2023 setidaknya sudah ada surat laporan sebanyak 266 dari PPATK.

Seperti diberitakan CNBC, Sri Mulyani juga membeberkan terkait adanya isu transaksi gelap di Kemenkeu yang mencapai Rp300 triliun.

Tak heran bila kemudian DJP jadi bulan-bulanan warganet. Ditinjau dari data Continuum (2023) terdapat 680 ribu perbincangan di internet yang bermuara pada perilaku pegawai pajak dengan tiga kata kunci yaitu pejabat pamer harta, indikasi adanya pencucian uang, dan persoalan pungutan pajak sebagai bagian dari terima hadiah.

Selain soal pajak, persoalan pembatalan tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA tak kalah ramai diperbincangkan. Melalui situs resminya, pembatalan terjadi karena situasi terkini di Indonesia yang bergejolak utamanya perihal penolakan Timnas Israel.

Tak pelak, pembatalan ini membuat banyak pihak kecewa, utamanya mereka yang hanya memandang sepak bola sebagai olahraga, bukan politik. Sampai-sampai ada aksi 1 Juta Pita Hitam untuk Timnas sebagai bentuk kekecewaan terhadap pembatalan sebagai host Piala Dunia U-20. Hal ini menjadi anti klimaks dari penyelenggaraan Asian Games 2018 yang menuai banyak pujian.

Saya melihat kedua cerita tersebut memiliki muara bahwa tingkat kepercayaan rakyat kepada negara tercederai dari dua sisi, yaitu internal dan eksternal.

Secara internal, rakyat semakin skeptis terhadap pemerintah, apalagi selama ini penggunaan pajak seringkali kurang transparan. Sedangkan secara eksternal, Indonesia diuji kemapanannya setelah gagal menjadi tuan rumah. Menghadapi gempuran masalah trust issue ini, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah?

Transparansi dan Akuntabilitas

Nasi sudah menjadi bubur. Pemerintah tidak punya cara lain selain mengusahakan transparansi dan akuntabilitas. Transparan artinya pemerintah cukup membuka diri dengan pengelolaan pajak, sedangkan akuntabel menekankan pada kemampuan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini secara bertanggung jawab.

Keduanya sebenarnya dapat diadopsi oleh pemerintah Indonesia melalui konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang pada dasarnya adalah konsep yang berusaha mengkombinasikan asas-asas negara hukum dengan negara sosialis.

Kombinasi ini tidak hanya menempatkan negara sebagai instrumen kekuasaan namun juga instrumen pelayanan publik melalui berbagai bentuk pembuatan kebijakan, perumusan aturan, pengurusan dan pengelolaan serta pengawasan terhadap barang dan jasa (Marilan, 2012).

Konsekuensi dari konsep welfare state tentu lahirnya sistem manajemen pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Hasilnya bisa kita lihat sebagaimana yang terjadi di negara-negara di semenanjung Skandinavia.

Sebagai contoh di Norwegia, menurut Survey OECD, tingkat kepercayaan publik di Norwegia termasuk yang tertinggi. Pada tahun 2021, 77% populasi melaporkan mempercayai pemerintah. Institusi hukum dan ketertiban, seperti pengadilan dan kepolisian, dipercaya oleh 82% masyarakat. Parlemen dipercaya oleh 69% penduduk, sementara 65% dipercaya oleh pegawai negeri dan 58% oleh pemerintah daerah.

Manfaatkan Teknologi

Jawabannya, sangat mungkin. Indonesia merupakan pengguna internet, teknologi, dan media sosial terbesar di dunia. Indonesia juga terkenal dengan rakyat yang aktif di media sosial, yang belakangan menjelma menjadi pengontrol moral dan etika pemerintahan di Indonesia.

Tentu hal ini menjadi modal sosial yang besar bagi Indonesia. Tanpa dorongan netizen, tentu kita tidak tahu persoalan pajak. Tanpa netizen, kita tidak tahu skala kekecewaan yang terjadi pasca gagalnya menjadi tuan rumah piala dunia.

Pergerakan rakyat melalui digital ini menjadi modal bagi pemerintah untuk menghimpun data dan kemudian menerjemahkannya kepada kebijakan publik berbasis data. Singkatnya, pemerintah tidak perlu repot-repot melakukan penelitian sosial terhadap fenomena sosial karena rakyat dan netizen dapat melakukannya secara mandiri.

Modal sosial ini harus direspon pemerintah dengan beberapa jaminan. Pemerintah harus sadar betul bahwa suara rakyat adalah suara pembangunan. UU ITE yang selama ini menjadi pasal karet, harus ditinjau ulang penggunaannya apalagi jika digunakan untuk menjunjung tinggi integritas bangsa.

Kebebasan ruang berpendapat melalui media sosial tidak harus dikebiri dengan aturan-aturan pembatasan. Justru kicauan netizen patut dilihat, jangan sampai hanya dianggap angin lalu.

Keributan soal pajak dan tuan rumah Piala Dunia U-20 merupakan awal gelombang yang akan kita lalui sebagai bangsa. Bung Karno pernah menekankan dua hal, bahwa kita adalah bangsa yang besar dan kemerdekaan itu justru susah saat dipertahankan ketimbang diperebutkan.

Gemercik peristiwa disintegrasi bangsa melalui hal-hal tersebut merupakan ujian pembuktian kita atas ucapan tersebut. Apakah Indonesia benar-benar bangsa yang besar dan mampu mempertahankan kemerdekaan, ataukah tidak. Kita sendiri yang mampu menjawabnya dengan kohesivitas dan kolektivitas kita sebagai bangsa Indonesia.

Penulis

Satria Aji Imawan

Dosen di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Meraih gelar Sarjana Administrasi Publik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM pada tahun 2013. Meraih gelar Magister Administrasi Publik dari University of Exeter, UK.
Opini Terkait
Mengkritisi Bimbel SKD CPNS
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Freelancer dan Ilusi Work Life Balance
Menimbang Kembali Aksi Sosial ke Panti Asuhan
(Nyaris) Tiada Harapan Dari Merah Putih
Salah Kaprah Perihal Matematika

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel