Mengkritik Akademisi di Panggung Politik Praktis

Mengkritik Akademisi di Panggung Politik Praktis

Mengkritik Akademisi dan Menguji Intelektualisme di Panggung Politik Praktis
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Dalam dunia politik praktis, sebuah gagasan akan menjadi sangat powerful jika ia mewujud dalam legalitas dan kekuasaan.

Saya membaca dua opini yang saling bertaut, terkait peran kampus dalam menyikapi politik praktis. Khususnya dalam ketegangan kampanye Pemilu 2024 ini. 

Bermula dari opini Achmad Rohani Renhoran “Kampanye Politik di Kampus dan Dampak Undangan BEM UI, yang menyampaikan keresahannya terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65/PUU-XXI/2023, soalan mengizinkan pelaksanaan kampanye di tempat Pendidikan.

Kemudian diperkuat dukungan argumentasi oleh Izam Komaruzaman Alasan Mengapa Kampus Kita Belum Siap Menghadapi Politik Praktis, yang menjabarkan dukungannya terhadap opini Rohani.

Dengan argumentasi yang dingin, pesimis, dan penuh kegalauan, keduanya sefrekuensi mendukung kampus dipisahkan dari proses dan aktivitas politik. Serta meragukan integritas orang-orang kampus, bahkan menduga kampus akan terbelah dengan begitu mudah hanya karena pidato.

Namun, sajian gagasan yang dipromosikan oleh Rohani dan Izam terlalu naif, teknis, dan mengada-ada. Sejak awal keduanya sudah memiliki asumsi yang menyiratkan, bahwa politik itu kotor dan akan mengotori apapun yang didekatinya, termasuk kampus.  

Salah Kaprah Rohani dan Izam

Tentu saya akan biasa saja jika yang mengucapkan adalah orang awam yang terlalu sering dipapar eksposur medsos yang dangkal. Namun untuk Rohani dan Izam, saya berharap lebih sebab keduanya “orang kampus” yang berkecimpung di dunia intelektual.

Dari tulisan keduanya, saya mengerti benar kekhawatiran mereka terhadap kampanye politik di kampus, yang dapat menyebabkan gangguan dan proses belajar mahasiswa.

Namun hal itu teknis sekali. Karena tersebut bisa sekali jentik jari diselesaikan oleh Event Organizer

Bahkan, mereka mengkhawatirkan terjadinya gangguan jadwal dan fokus studi mahasiswa. Saya rasa ini berlebihan. Masa iya fokus studi mahasiswa bisa terganggu oleh event yang mungkin hanya 2 sampai 3 jam itu?

Saya pikir, insan kampus tidak serentan itu.

Mereka juga membuat anasir tentang polaritas, potensi konflik, dan mengkhawatirkan dampak terhadap reputasi kampus tanpa mengujinya, atau setidaknya memberikan contoh kampus yang pernah mendapat stigma yang seperti itu. 

Di akhir, Rohani mempertanyakan pemborosan yang bakal terjadi jika aktivitas terssebut tetap dilaksanakan di kampus. Saya menyarankan Pak Dosen untuk riset terkait dana kampanye, peran KPU, dan lain-lain. Biar tidak perlu memberatkan pemikiran untuk hal yang sebenarnya sudah diatur. 

Ditambah lagi Izam yang terlihat mengekor dengan sempalan umpatan khasnya: “tahi kambing” yang diulang sampai dua kali. Atau tiga ya? 

Padahal Akademisi Bisa Ambil Celah

Menurut saya, justru di kampus lah ketegangan politik tersebut diharapkan bisa dimoderatori. Kampus memiliki kewajiban dalam mandat Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Masyarakat, untuk memberikan ruh intelektualisme dalam kontestasi politik yang terjadi. 

Sehingga tidak terlalu jauh terjerumus kepada praktik transaksional, pragmatisme dan opportunisme, serta kedangkalan program para kandidat.

Bahkan seharusnya kampus bukan hanya tempat kampanye. Sejatinya para intelektual kampus pun dilibatkan sejak awal; menskrining kandidat, menguji teks Undang-Undang Pemilu, mengkritisi penyusunan visi, misi, dan program para kandidat. 

Hal ini bukan hanya akan mengangkat marwah kampus, lebih dari itu menjadikan tawaran program yang dibawa oleh para kandidat politik lebih tepat sasaran dan aplikatif. 

Sebab, berbasis penelitian mendalam berbasis keilmuan dan keilmiahan yang dilakukan oleh “orang-orang kampus.”

Problem kandidasi politik kita hari ini melahirkan tiga masalah krusial, di antaranya kualitas representasi yang low quality, biaya politik yang tinggi, serta masalah kesetaraan. Hal yang mungkin bisa dimitigasi jika melibatkan akademisi sejak awal.

Rohani dan Izam bisa melihat dari berbagai program tawaran para kandidat, kalau mau mempelajari. Misalnya terkait isu kesehatan mental masyarakat, hampir tidak ada sama sekali dalam kosakata program para kandidat. 

Padahal Indonesia sudah darurat sakit mental masyarakat. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri) melaporkan bahwa ada 971 kasus bunuh diri Indonesia terjadi sepanjang Januari hingga 18 Oktober 2023. Termasuk di dalamnya adalah mahasiswa frustasi bunuh diri, dan viral. 

Belum lagi urusan felisida, femisida, yang terjadi di rumah tangga keluarga Indonesia. Berapa banyak anak-anak jadi korban pembunuhan orang tua yang frustasi karena sakit mental akhir-akhir ini.

Sebuah bahaya laten yang luput dari fokus para kandidat, timses, dan para konsultan tersebab berlepas dirinya para intelektual kampus dari proses politik karena pemahaman kering dan naif. 

Dalam iklim demokrasi, gagasan dan wacana mendapat porsi pada kedudukan yang terhormat. Politik bisa menjadi semacam “kuali besar” yang menampung semua produk ide, tentang cara mengatur kehidupan bersama masyarakat manusia. 

Di sinilah celah bagi para akademisi dan intelektual masuk berpartisipasi langsung mendorong perubahan itu tanpa harus “melacurkan diri”.

Karena dalam dunia politik praktis, sebuah gagasan akan menjadi sangat powerful jika ia mewujud dalam legalitas dan kekuasaan. Pengaruhnya akan sangat hebat dan luas dalam mengubah dan mengarahkan tata negara dan tata kelola sebuah negara. 

Menjadi ironis saja jika Rohani dan Izam malah seakan mempromosikan kampus untuk diam saja dan menutup diri. 

Intelektualisme vs Kekuasaan

Memang debat antara intelektualisme dan kekuasaan sudah lama terjadi. Intelektualisme, dalam tudingan Julian Benda, intelektual Perancis yang madzhabnya tentang negara dan kekuasaan banyak menjadi referensi para intelektual dan politisi di Indonesia, harus dipisah dengan kekuasaan.

Akademisi sebagai representasi intelektualisme, mereka adalah para penjaga benteng moral sebuah bangsa. Sedang kekuasaan adalah mesin represi dan penindas paling efektif, tesisnya. 

Benda bahkan menulis, adalah sebuah bentuk pengkhianatan besar bagi kaum intelektual apabila mereka terlibat dalam kancah politik praktis dan kekuasaan.

Namun Karl Mannheim, sosiolog Hungaria, sudah membantahnya. Mannheim menuduh para cendekiawan yang tidak terlibat dalam kerja politik praktis justru itulah pengkhianatnya. 

Sebab moralitas bukan hanya bahan diskusi ‘hitam putih’ di dalam ruang-ruang kudus Menara Gading Universitas. Ia harus diuji di panggung negara.

Pada masa yang lebih baru, Antonio Gramsci dari Italia mencoba menengahi. Gramsci berujar, bahwa seorang cendekiawan bertugas menghubungkan ketidakpuasan individual ke dalam bentuk aktivisme sosial kolektif.

Meskipun masih bernada skeptis, Gramsci tetap berharap para cendekiawan dengan segenap disiplin keilmiahan yang membentuknya, mampu membawa pergerakan yang nyata dalam kolektivitas, dan mengusung panji moralitas seberat apapun tekanan kekuasaan saat mereka masuk ke dalam pusarannya. 

Ini proposal jalur tengah yang menjadi solusi bagi Benda maupun Mannheim.

Saya tidak tahu apakah Rohani dan Izam pernah menyitir mereka. Namun masih terasa kurang fair, jika kita menggunjing politik tanpa pernah sama sekali terlibat dalam prosesnya. 

Penulis

Ardiansyah

Seorang aktivis, peneliti, dan pemerhati gejala-gejala sosial. Sangat suka dengan kritik dan konstruksi sosial. Serta penyuka travelling, ngopi, indie, dan senja.
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel