Sebuah ambisi besar nan ‘ndakik-ndakik’ tengah dirancang oleh pemerintah Arab Saudi. Negeri kaya minyak itu sedang ngebet banget merekrut pemain sepak bola kelas wahid untuk bermain di liganya.
Mereka mengajak pemain top Eropa buat ‘hijrah’ ke Arab Saudi. Nama-nama beken seperti Cristiano Ronaldo, Karim Benzema, Roberto Firmino, N’Golo Kante hingga Sadio Mane pun mendarat di Arab Saudi.
Iming-iming gaji fantastis tentu jadi salah satu alasan. Kita dibuat melongo saat Ronaldo sepakat menandatangani kontrak sekitar Rp 3,35 triliun per musim dengan Al Nassr.
Bahkan Neymar Jr, juga hijrah ke Al Hilal, dengan besaran transfer mencapai Rp 1,5 triliun dan gaji Rp 2,5 triliun per tahun.
Seberapa banyak duit triliunan itu sangat sulit kita bayangkan. Kalau situ memang ngeyel buat ngebayangin, gini deh coba bayangkan andai uang itu dibelikan seblak papeda Mamang Rafael, satu Indonesia bisa lengket.
Semua ‘kegilaan’ itu akibat program Public Investment Fund atau PIF, yang diketuai oleh pangeran dan putra mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman Al-Saud (MBS).
MBS ingin membawa kepopuleran sepak bola ke negaranya, sekaligus membangun citra positif demi kemajuan liga dan timnas Saudi. Tidak tanggung-tanggung, selain mendatangkan bintang-bintang sepak bola Eropa, PIF juga mengakuisisi 4 tim besar liga Arab Saudi, Al Nassr, Al Hilal, Al Ahli dan Al Ittihad.
Lewat gelontoran dana yang seperti keran jebol, ngalir terus, sepertinya mimpi Arab Saudi untuk menjadi kiblat sepak bola dunia yang baru akan segera terwujud.
Hanya saja kok saya ngga terlalu setuju ya, dengan semua ide ‘punya duit, punya kuasa’ yang sedang dijalankan oleh Arab Saudi. Cara mereka menarik para bintang dengan iming-iming gaji ora umum itu cuma akan membuat harga pasaran pesepak bola dunia nggak karuan, dan malah bisa bikin klub-klub itu cepat bangkrut.
Selain itu menurut saya mereka juga bakalan menghilangkan romantisme tim dan pemain medioker di sepak bola. Kalau sampai terjadi, tentu akan sangat merugikan bagi kita semua yang memang mencintai olahraga ini.
Salah satu hal menarik dari sepak bola adalah kisah-kisah si kerdil melawan raksasa. ‘Bola itu bundar’ kata orang-orang, dan segalanya mungkin terjadi di sepak bola.
Tim antah berantah kadang-kadang sanggup menghadirkan kejutan, dan kejutan mereka dirayakan. Mereka memikat dan wajar belaka jika orang-orang tertarik pada mereka.
Memupus harapan underdog dan kisah fantastis si medioker
Tentu kita sudah akrab dengan kisah-kisah ajaib nan dramatis yang biasa hadir dibalik munculnya sebuah klub atau pemain juara. Entah bagaimana, entah dari mana, ujug-ujug sebuah tim ataupun pemain yang tak diperhitungkan tiba-tiba muncul sebagai pemenang.
Mari lihat contoh dua tim medioker yang sanggup menepis prediksi, yakni timnas Yunani di Piala Eropa (Euro) 2004 dan Leicester City di Premier League 2015/2016.
Piratiko julukan Timnas Yunani berhasil merengkuh juara setelah mengalahkan Purtugal di final. Padahal, Timnas Yunani sama sekali tidak diunggulkan di ajang tersebut. Mereka kalah pamor dari tim-tim Eropa lain seperti Inggris, Jerman, Prancis dan tuan rumah Portugal dengan generasi emasnya.
Timnas asuhan Otto Rehagel itu juga dicibir karena mempraktekkan sepak bola pragmatis, bertahan total lalu mengandalkan serangan balik. Namun strategi itu sangat efektif, buktinya tim-tim seperti Portugal, Prancis hingga Rep. Ceko tidak berkutik.
Jika kita lihat dari sisi skuadnya, Yunani jelas tidak ada apa-apanya. Nama-nama seperti Angelos Charisteas, Giorgios Karagounis, Theodoros Zagorakis tentu kalah mentereng dibanding pemain top di negara lain. 2004 adalah eranya David Beckham, Luis Figo ataupun Pavel Nedved.
Yunani juara Euro 2004 adalah bukti tidak adanya skuad mewah tidak membuat permainan sebuah tim akan mlempem.
Keberhasilan skuad Leicester City menjuarai Premier League 2015-2016 adalah contoh berikutnya. Kerennya lagi, memori manis tentang Leicester hadir saat uang mulai punya kuasa di sepak bola.
The Foxes, julukan Leicester, hadir di antara gempuran klub-klub Sultan macam Manchester City, Manchester United, Chelsea, Liverpool dan Arsenal.
Skuad bertabur bintang itu tidak dapat berbuat banyak dibanding skuad Leicester City dengan Jamie Vardy dkk, yang kala itu belum menjadi bintang. Padahal di musim sebelumnya mereka harus berjuang lolos dari zona degradasi, dan sihir Claudio Ranieri mengubah segalanya.
Apakah sosok Jamie Vardy hadir dari gelimangan uang? Jelas tidak, lha wong Vardy dulunya cuma pesepak bola amatir. Dia bekerja sambilan sebagai buruh di pabrik obat, sambil menjalani profesi sebagai atlit.
Tidak ada mobil Ferrari, tidak ada WAGS, tidak ada rumah mewah, Vardy hanya latihan lebih lama dari yang lainnya, (ya walaupun kadang datang dengan kondisi tipsy). Total 22 gol musim 2015-2016 Jamie Vardy untuk Leicester City tidak hadir dengan duit tanpa seri.
Kisah ajaib sepak bola dari Indonesia
Kisah ajaib lain hadir dari Indonesia lewat Timnas U-19. Siapa yang tidak kenal Evan Dimas, Ilham Udin Armaiyn, Hansamu Yama saat itu, lewat tangan dingin Indra Sjafri mereka sukses membawa gelar juara AFF U-19 2013.
Sebuah oase di tengah dahaga gelar yang sudah ditunggu-tunggu bangsa ini. Tidak hanya juara, mereka juga memainkan sepak bola dengan cara yang sangat menghibur. Bola dimainkan melalui umpan pendek dari kaki ke kaki, bukan long ball yang serampangan lagi.
Cerita di belakang layar pun ibarat sebuah sinetron yang mengharukan, Indra Sjafri menemukan bocah-bocah ajaib itu dengan cara blusukan. Jadi, jangan dikira hanya pejabat yang sedang mencari suara saja yang blusukan, mencari pemain bola pun bisa.
Kisah Indra Sjafri menemukan Sahrul Kurniawan, salah satu pilar timnas U-19 Indonesia saat juara AFF U-19 2023, juga ajaib.
Bakat pemain dari anak kaki Gunung Lawu itu terendus setelah Indra dapat wangsit dari seorang tukang ojek. Kalau saat itu keberadaan Sahrul Kurniawan tidak terlacak, bisa jadi kita tidak memiliki duet bek tengah tandem Hansamu Yama itu.
Aha! Indra Sjafri dan jajaran stafnya juga sampai pakai dana pribadi untuk menalangi beberapa pengeluaran. Kisah-kisah seperti ini yang akan menarik perhatian khalayak dan diingat selalu.
Membeli mimpi dengan uang
Kalau Arab Saudi tetap melakukan hal seperti di atas, kisah-kisah ajaib dari si medioker ini makin redup. Orang-orang hanya akan mengingat gaji ‘ora umum’ serta kehidupan glamor para bintang. Membosankan!
Jika kita tengok kisah fantastis tim biasa-biasa saja mengoyak dominasi tim bergelimang uang, sulit membayangkan bakal terjadi lagi. Roman mengusik penguasa itu jadi salah satu hal yang membuktikan bahwa siapapun bisa meraih yang tak disangka.
Sudah seharusnya sepak bola itu menginspirasi, memunculkan harapan, menghadirkan kisah ajaib baru yang indah.
Kadang-kadang, orang-orang menyebut cerita romantis macam itu dengan menyebutnya sebagai ‘kisah Cinderella’ atau ‘from zero to hero’ atau sebutan lain yang punya nuansa serupa.
Tentu kita perlu tahu, di Arab Saudi tak ada kisah Cinderella. Mereka juga rupanya enggan membuatnya. Mereka ingin main sulap saja dengan duit sebagai alatnya.
Baca Juga: Bagaimana Caramu Membaca Dongeng?