Perkembangan sepak bola nasional kita, utamanya dari segi prestasi maupun pembinaan, masih seperti yoyo. Kadang naik, kadang turun. Dan hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari betapa amburadulnya pengelolaan sepak bola dalam negeri.
Belum lagi jika melihat drama para pemangku kebijakannya yang penuh dengan intrik kepentingan berbasis kelompok atau lebih banyak berorientasi politik praktis. Rasanya seperti menonton sinetron yang ceritanya berlarut-larut. Bikin gregetan.
Alih-alih hanya sibuk menggunakan PSSI sebagai kendaraan untuk melanggengkan kepentingan pribadi atau kelompok saja, orang-orang penting dalam tubuh organisasi ini harusnya fokus untuk meningkatkan sepak bola Indonesia.
Salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan untuk membawa olahraga ini ke arah yang lebih baik ialah terkait pembinaan pemain. Agenda ini sebenarnya bukan hal baru dalam sepak bola kita. Mulai dari pembinaan usia muda di dalam negeri hingga ke luar negeri, semua sudah pernah dicoba.
Meskipun kehadiran nama-nama lokal di luar negeri sepertinya baru terasa masif belakangan ini, sebenarnya agenda ini sudah mulai dijalankan jauh-jauh hari. Jika ditarik mundur sebelum memasuki tahun 2000, sudah ada beberapa nama yang pernah merasakan kompetisi di luar negeri.
Generasi tua ini di antaranya Ricky Yacobi (Matsushita Electric/Gamba Osaka (Jepang) yang direkrut pada tahun 1988 dan sempat bermain sebanyak enam kali dengan sumbangan satu gol, sebelum akhirnya kembali ke Indonesia untuk memperkuat Arseto Solo pada 1991.
Selain itu, ada juga beberapa nama lulusan program Primavera di Italia seperti Kurniawan Dwi Yulianto, Kurnia Sandy, dan Bima Sakti, yang bahkan sudah sempat ditawari kontrak oleh klub-klub Eropa. Sayangnya, karir mereka di sana hanya seumur jagung.
Selanjutnya ada nama-nama seperti Stefano Lilipaly (Consadole Sapporo/2014) dan Irfan Bachdim (Ventforet Kofu dan Consadole Sapporo/2015-2016) yang pernah mencoba peruntungan bermain di Jepang.
Sayangnya keduanya tidak mendapatkan kesempatan bermain yang cukup dan ujung-ujungnya berakhir di liga Indonesia. Sekarang, semangat untuk membuktikan bakat Indonesia di Liga Jepang dilanjutkan oleh mantan pemain PSIS Semarang, Pratama Arhan, yang pindah ke tim divisi 2 Jepang, Tokyo Verdy.
Beberapa tahun sebelum Arhan ke Jepang, kepindahan Egy Maulana Vikri ke klub Liga Polandia, Lechia Gdansk, sempat menjadi perbincangan hangat. Kepindahan ini nampaknya menjadi momentum lebih banyak pemain yang hijrah ke luar negeri setelahnya.
Egy menjadi semacam parameter pemain Indonesia yang mampu bermain di luar negeri. Yaa, meskipun keberhasilannya bermain di Eropa juga tidak dapat dilepaskan dari faktor sebagai “pemain yang membawa sponsor.”
Setelahnya sih pemain Indonesia silih-berganti yang terpantau bermain di luar negeri, baik dalam jangka waktu tahunan atau sekedar beberapa bulan saja.
Muncul nama-nama lain yang sepertinya tidak mau ketinggalan mengikuti jejak Egy Maulana bermain ke luar negeri, sebut saja Witan Sulaeman, Brylian Aldama, David Maulana, Todd Ferre, Bagus Kahfi Pratama Arhan, Asnawi Mangkualam, Syahrian Abimanyu, Marselino Ferdinan, dan jika masih ingat Firza Andika pun pernah bermain di luar negeri.
Kalo yang dinaturalisasi juga mau disertakan, ada nama-nama seperti Ivar Jenner, Rafael Struick, Elkan Baggot, Jordi Amat, Sandy Walsh, dan Shayne Pattynama
Nah, keuntungan yang bisa kita dapatkan dari hal ini tentu saja bertambahnya wawasaan para pemain tentang berbagai macam gaya bermain serta model latihan yang mungkin tidak mereka dapatkan di Liga Indonesia. Ini dapat berdampak signifikan pada perkembangan para pemain tersebut.
Selain itu, bukan tidak mungkin jika semakin banyak pemain yang berkarir di luar negeri, maka rasa percaya dari tim-tim di sana untuk berani menggunakaan pemain kawasan ASEAN, terutama Indonesia, juga ikut muncul.
Makanya, PSSI harus berani menjalin kerja sama yang lebih konkret dengan Kemenpora dan Kemenlu untuk terus mendorong pemain bermain di luar negeri doong. Mereka juga perlu melakukan pendataan para pemain Indonesia lain yang sedang berlatih di luar negeri, baik pemain keturunan maupun bukan.
Ketika ada pemain Indonesia yang bermain ke luar negeri demi mendompleng keberhasilan mereka, perlu dibuatkan semacam fasilitas bantuan untuk membantu mereka beradaptasi di sana. Sebab, banyak kasus pemain Indonesia yang pulang lebih cepat karena alasan homesick. Haduuh.
Kualitas timnas Indonesia yang membaik tentunya menjadi harapan kita semua. Namun jangan lupa, pengembangan di luar harus diimbangi dengan kualitas sistem kompetisi sepakbola Indonesia dari usia dini sampai Profesional. Tanpa itu, cepat atau lambat kita akan kehilangan bakat-bakat sepakbola Indonesia.
Nah, ngomong-ngomong soal pengembangan dalam negeri, PSSI memang dari 2018 lalu sudah mulai merilis Elite Pro Academy yang digunakan sebagai jembatanpara pemain muda amatir yang berasal dari Piala Soeratin untuk naik kelas ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu Liga 1 Indonesia.
Yaah, walaupun dari 2018-2022 selalu ada perbaikan dan perubahan kelompok usia serta lamanya waktu kompetisi, ajang ini setidaknya mampu menjadi oase di tengah minimnya liga elit untuk para pemain muda Indonesia.
Untuk tahun ini, Elite Pro Academy 2023 akan menambah jenjang kompetisinya, yaitu: U21, U18, U15, U13. Kelompok U21 akan mendapatkan waktu kompetisi terpanjang, sekitar enam bulan (Oktober 2023 – Maret 2024), agar nantinya para pemain ini sudah lebih siap saat naik kelas ke Liga 1 Indonesia. Harapannya begitu yaa.
Dengan cangkupan kompetisi usia dini semakin luas, tentu jangkauan pemain yang terpantau semestinya bisa lebih banyak lagi. Harapannya, kualitas kompetisi ke depannya menjadi lebih baik lagi. Selain itu, PSSI juga diharapkan mampu merangkul pula kompetisi swasta yang sudah berjuang lebih dulu menghidupkan kawah kompetisi usia dini Indonesia, seperti yang dilakukan oleh Liga Kompas, Liga Topskor, serta Liga Internal Persebaya.
Jadi buat PSSI, baik di luar juga harus diimbangi dengan sistem kompetisi yang baik di dalam yaa. Katanya mau membangkitkan sepak bola Indonesia sebagai Macan Asia.