Beberapa waktu lalu sempat viral, ratusan siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Bekasi gagal study tour ke Yogyakarta. Angan-angan mereka kandas karena aksi penipuan oknum penyedia jasa study tour.
Singkat cerita, pelaku penipuan mengaku mewakili suatu CV, yang bergerak di bidang event organizer (EO) dan mengajukan proposal kegiatan ke sekolah. Setelah membahas persiapan, biaya perjalanan, dan lain-lain pihak sekolah deal nih mau bekerjasama.
Biaya study tour yang ditawarkan ke sekolah sebesar Rp1.999.000 per siswa untuk kegiatan selama di Yogyakarta. Tawaran tersebut disetujui oleh kepala sekolah. Dan total siswa yang akan ikut study tour sebanyak 288 orang.
Yaaa kalau ditotal uang yang dikumpulkan oleh pelaku mencapai Rp474.500.000. Ini siihh lumayan fantastis yaaa untuk perusahaan sekelas CV EO.
Nah, setelah seluruh biaya sudah lunas dibayar, pelaku tidak melaksanakan tugasnya sebagaimana yang telah disepakati. Kayak jadwal keberangkatan ditunda, bus pengantar yang harusnya delapan unit, hanya ada empat yang datang. Sisanya belum dibayar. Bukan cuma itu, hotel tempat menginap pun belum di-booking oleh si pelaku.
Ckckck… bener-bener dah
Karena merasa ada yang tidak beres, pihak sekolah melaporkan pelaku ke Polsek Bekasi Utara. Hingga saat ini, kasus penipuan oleh pelaku masih didalami pihak kepolisian. Pelaku sudah berstatus tersangka. Tapi gilaknyaa uang yang terkumpul itu, katanya sudah terpakai habis.
Cepeet bangett yaaa ngabisinnya. Penasaran ugaaa buat apa ajaa uang Rp 400 an juta itu.
Kejadian ini menjadi pukulan telak bagi kita semua. Kasus yang menyisakan pertanyaan tentang integritas dan keamanan dalam industri pariwisata pendidikan kita.
Dari kasus penipuan study tour oleh perusahaan fiktif seperti ini, menunjukkan betapa rawannya dunia pariwisata pendidikan di Indonesia. Seakan ada kecurangan yang tersembunyi di balik sejumlah kegiatan menarik yang dijanjikan.
Daaannn kepikiran nggak sih? Gimanaa caranya seorang pemilik perusahaan fiktif atau pelaku dapat dengan begitu lancarnya mengelabui pihak sekolah dan memanipulasi harapan para siswa?
Nyalinya gede bangett sihh bisa sok iyee sama pihak sekolah dan tega banget php in siswa. Kayak…. hidupnya ada masalah apa sihh sampe punya keberanian kayak gitu?
Masalah Ekonomi Selalu Jadi Pemeran Utama
Seseorang yang berani melakukan hal semacam itu (baca:penipuan), biasanya didorong oleh kebutuhan finansial, kebutuhan akan status sosial, tekanan emosional, dan kurangnya kontrol diri.
Menurut Donald R. Cressey, seorang ahli kriminologi yang mengembangkan teori “Triangle of Fraud“, tiga faktor utama yang menjadi penyebab penipuan adalah motivasi finansial, kesempatan, dan rasionalisasi.
Baca Juga: Novel Dilan dan Sobekan Potret Pendidikan
Motivasi finansial terkait dengan dorongan untuk mendapatkan keuntungan material atau mengatasi masalah keuangan. Kesempatan muncul ketika individu memiliki akses dan kendali terhadap sumber daya atau informasi yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan penipuan.
Sementara itu, rasionalisasi melibatkan cara individu membenarkan atau membenar-benarkan tindakan penipuan mereka kepada diri sendiri.
Dalam bukunya “The Psychology of Fraud“, edisi 2017, editornya, Brian H. Bornstein dan Monica K. Miller, membahas faktor-faktor yang berkontribusi pada perilaku penipuan.
Mereka menggaris bawahi beberapa faktor psikologis seperti kecenderungan manipulasi, kebutuhan akan pengakuan atau status sosial, gangguan kepribadian, dan kurangnya penyesuaian sosial yang dapat mempengaruhi kecenderungan seseorang untuk melakukan penipuan.
Nah dalam kasus penipuan di atas, pelaku mengaku kepada pihak kepolisian bahwa uang yang dibayarkan kepadanya dipakai untuk melunasi utang. Dan jumlah utang piutang pelaku berkisar Rp 50 sampai Rp 100 juta rupiah.
Haa!! Terjawab kannn sekarang Rp 400 jutaan tadi dibuat apaa. Meskipun masih banyak sisanya siii.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa seseorang bisa menjadi apa saja dan berani melakukan apa saja demi menebus dosa finansialnya.
Dengan berbekal kemampuan manipulasi data dan informasi, pelaku pun mulai melancarkan aksinya. Seperti, ia harus menciptakan dokumen perusahaan fiktif guna mengelabui calon korbannya, yakni pihak sekolah. Setelah itu, ia tinggal melatih kemampuan presentase di hadapan kepala sekolah dengan materi yang sangat menarik.
Hmm niatt jugaaa yaa.
Selanjutnya, dari peristiwa tidak menyenangkan ini, ada hal lain yang perlu menjadi perhatian, yakni sistem kerjasama antar sekolah dengan pihak penyedia wisata study tour yang perlu diperbaiki. Karena penting untuk melindungi kepentingan para siswa.
Bayangin ajaa siswa udah angan-angan bakal eksplor banyak hal di kota tujuan, sambil healing, sama foto-foto buat story medsos. Udah bayar mahal-mahal juga ehhh nggak jadi. Terlebih nggak jadinya karena ketipu. Kan ngenes banget.
Mungkin, kita bisa bahas cara-cara umum yang kiranya dilakukan pelaku, serta bagaimana mengatasinya.
Pelaku Beraksi Melalui Manipulasi Data
Si pelaku, melalui perusahaan fiktifnya, bisa saja begitu lancarnya mengelabui pihak sekolah dan memanipulasi harapan para siswa memiliki berbagai cara yang cerdik dan manipulatif dalam menjalankan aksinya. Mereka memahami psikologi manusia dan menggunakan strategi yang dirancang secara cermat untuk mencapai tujuan mereka.
Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di Bandung bulan Mei lalu. Tersangka, Indah Chantika Lestari, merupakan pegawai freelance di perusahaan travel Grand Traveling Indonesia itu, membawa kabur uang senilai Rp 400 juta rupiah hasil dari aksi penipuan dan penggelapan dana study tour siswa SMAN 21 Bandung.
Motif yang digunakan tersangka dan tim masih sama dengan yang dilakukan pelaku penipuan MAN 1 Bekasi, Aditya yakni menyajikan proposal atau penawaran yang terlihat sangat profesional dan menarik. Mereka mengemasnya dengan desain yang unik, informasi lengkap tentang destinasi, kegiatan menarik, dan fasilitas yang dijanjikan.
Dokumen-dokumen tersebut sering kali tampak meyakinkan dan membuat pihak sekolah terkesan. Alhasil, Kepala Sekolah SMAN 21 Bandung pun terkecoh dan mengakui kesalahan pihaknya yang sudah teledor mengirim ratusan juta ke rekening tersangka.
Baik kasus di Bekasi maupun di Bandung, tersangkanya memanfaatkan kelemahan dalam sistem verifikasi dan validasi informasi. Mereka dapat menciptakan identitas palsu, menggunakan testimonial palsu, atau merujuk pada kerjasama palsu dengan lembaga terkenal untuk membangun citra kepercayaan.
Frank W. Abagnale, seorang konsultan keamanan, menjelaskan bahwa identitas palsu dalam penipuan melibatkan penguasaan terhadap informasi pribadi dan menggunakannya untuk menyusun latar belakang yang kredibel. Identitas palsu yang dipakai harus sesuai dengan lingkungan sosial yang dituju, termasuk pekerjaan, pendidikan, dan interaksi sehari-hari.
Alhasil, korban bisa dengan mudah terjebak dengan rayuan semu para penipu. Dengan data dan informasi yang diperoleh, pelaku sudah paham betul apa yang diinginkan korbannya itu.
Baca Juga: Keluarga Cemara dan Keluarga Korban Media
Melihat maraknya aksi penipuan berkedok wisata pendidikan seperti ini, maka tidak ada salahnya sekolah terus berbenah diri. Evaluasi sistem kerja sama antara sekolah dengan pihak penyedia wisata study tour merupakan hal yang penting untuk dilakukan segera mungkin. Agar seluruh pihak yang terlibat dapat memastikan keberhasilan dan keamanan kegiatan tersebut.
Dalam beberapa kasus penipuan dan ketidakjelasan yang terjadi, diperlukan pula evaluasi regulasi yang lebih ketat guna melindungi kepentingan para pelajar.
Sekolah Perlu Melakukan Evaluasi dalam Kerjasama
Pertama-tama, perlu ada upaya yang lebih hati-hati dalam memilih mitra penyedia wisata study tour. Pihak sekolah perlu melakukan riset dan verifikasi yang lebih teliti terhadap reputasi dan kredibilitas perusahaan penyedia wisata yang akan dipilih.
Menanyakan referensi dari lembaga atau sekolah lain yang pernah bekerja sama dengan penyedia tersebut dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kualitas layanan dan kepercayaan yang dimiliki oleh penyedia tersebut.
Selanjutnya, sistem kerja sama antara sekolah dan penyedia wisata study tour perlu diatur dengan kontrak yang jelas dan transparan. Kontrak ini harus mencakup rincian biaya, jadwal kegiatan, dan fasilitas yang akan disediakan. Adanya kontrak yang jelas dan tegas dapat melindungi kepentingan para pelajar dan mencegah kemungkinan adanya manipulasi atau ketidakjelasan dalam pelaksanaan kegiatan.
Selain itu, perlu adanya regulasi yang lebih ketat dari pihak otoritas terkait untuk mengawasi dan mengontrol kegiatan penyelenggaraan study tour. Regulasi ini harus mengatur mengenai persyaratan, kualifikasi, dan standar yang harus dipenuhi oleh penyedia wisata study tour.
Pengawasan yang lebih ketat dapat mencegah adanya praktik penipuan, memastikan keamanan dan kualitas layanan yang diberikan kepada para pelajar.
Penting juga untuk melibatkan peran orang tua dan komite sekolah dalam pengawasan dan pemilihan penyedia wisata study tour. Komunikasi yang baik antara pihak sekolah, orang tua, dan penyedia wisata dapat memberikan kejelasan dan keamanan dalam menjalankan kegiatan study tour.
Satu hal lagi, sebelum hendak bertemu dan melakukan kesepakatan, pihak sekolah ataupun orang tua perlu memanfaatkan teknologi informasi untuk mencari tahu latar belakang dari si penyedia jasa. Bisa dengan melihat media sosial, website, hingga youtubenya.
Kalau dirasa ada informasi yang tidak lengkap, maka jangan segan-segan untuk mempertanyakan ketidaklengkapan tersebut atau bahkan langsung saja tolak kerja samanya.