Plagiasi di Pendidikan: Ditodong atau Malas Tak Tertolong?

Plagiasi di Pendidikan: Ditodong atau Malas Tak Tertolong?

Plagiasi di Pendidikan: Ditodong atau Malas Tak Tertolong?
Ilustrasi oleh Rizqi Nurhuda Ramadhani Ali

Cukuplah para akademisi frustasi akan adanya indikasi plagiasi pada satu kata “the” atau pada variasi kata imbuhan di Turnitin mereka daripada tersenyum atas hasil indeks plagiasi yang terus dinormalisasi.

Mungkin untuk membuka paragraf dari opini yang (bisa jadi) kontroversial di ranah pendidikan dan perguruan tinggi ini, tak ada ungkapan yang lebih pas selain “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”.

Namun, ini bukan perihal tata cara kencing yang baik dan benar karena keabsahan kencing yang baik adalah dengan duduk agar sistem ekskresi pada tubuh tetap stabil (dan sesuai ajaran agama).

Esensi ungkapan tersebut bisa diproyeksikan dari bagaimana tatanan sistem yang buruk dapat dilanggengkan hanya melalui proses pengamatan, tak terkecuali institusi pendidikan.

Bayangkan, sudah beberapa kasus pendidikan akhir-akhir ini yang memperlihatkan nir-kapabilitas tenaga pendidik dalam menciptakan sesuatu yang orisinil.

Beberapa berita menyebutkan bahwa indeks kesamaannya tinggi sampai 70 hingga 90 persen. Lah, mahasiswa saja dapat indeks lebih dari 25 persen sudah keringat dingin, apalagi yang sudah jelas plek ketiplek!

Tentunya, masalah plagiasi di ranah pendidikan tinggi bukanlah persoalan baru, di mana eksistensinya bahkan sudah menjadi rahasia umum.

Di Google saja mungkin sudah puluhan artikel dari berbagai web berita online yang mewartakan berbagai kasus plagiasi oleh oknum dosen, atau bahkan mahasiswa sendiri.

Kuantitasnya mungkin sudah mencapai halaman 9-10 di mesin pencarian. Mulai dari berita utama dari plagiasi itu sendiri, sampai beberapa artikel dari institusi perguruan tinggi tentang sosialisasi dampak buruk plagiasi di lingkungan akademis. Hal ini menandakan bahwa masalahnya sudah serius, lur!

Tuntutan Kuantitas agar Jadi Paling Pas

Jika ditanya latar belakang (bukan latar belakang Bab 1, mentang-mentang tulisan ini nyentil karya ilmiah!) yang mendasari para civitas akademika ini melakukan tindak plagiasi, tentu jawaban yang dihasilkan beragam. Akan tetapi, yang paling banyak ditemui, ya… lagi-lagi, masalah jabatan!

Seperti tulisan Saharul Hariyono di tahun 2023 yang mengungkapkan bahwa para civitas akademika yang melakukan praktik ini didasari karena demi mengincar atau mempertahankan posisi strategis di lingkungan akademiknya.

Untuk mencapai posisi tersebut, kuantitas penelitian dan pengembangan haruslah digenjot agar mampu mengisi persyaratan. Nah, di sinilah jurus “sakti mandraguna” ini dipakai.

Ironisnya, di balik persyaratan publikasi ini juga dibarengi dengan ketentuan bahwa karya riset atau publikasi yang dihasilkan merupakan karya yang orisinil dan tidak ada unsur plagiasi. Pertanyaannya, mereka sadar, kah, kalau kedua ketentuan ini enggak boleh bertolak belakang implementasinya?

Yang satu mendobrak kuantitas dengan melakukan plagiasi, sementara di sisi lain ada pernyataan tanpa plagiasi untuk menanggulangi hal tersebut. Yo jelas ambyar, lur!

Selain jabatan, faktor besar lain yang mendorong praktik nakal ini semakin menjamur, sudah pasti, karena alasan angkat kredit. Hal ini sebenarnya masih cukup linier dengan penyebab sebelumnya karena ujung-ujungnya bakal menghasilkan keluaran berupa pengangkatan jabatan.

Namun, kembali lagi, demi menaikkan kredit yang ujung-ujungnya menawarkan benefit kepada peforma pekerjaan, mereka rela mendobrak kuantitas dengan melakukan praktik nakal ini.

Akhirnya, dengan jembrengan fenomena yang sudah jadi rahasia umum tadi, praktik plagiasi yang dilakukan di lingkungan akademik yang menjunjung integritas dan intelektualitas lambat laun mulai mampu mencederai dua “i” yang menjadi core values pada lingkungan akademik ini.

Kuantitas mencuat, integritas pun rungkad!

Budaya Malas Menuju Matinya Kreativitas?

Oke, mungkin kita cukupkan dulu pembicaraan tentang kuantitas dan mulai beralih kepada masalah yang lebih personal dan lumayan mengakar di masyarakat Indonesia. Apalagi kalau bukan budaya malas!

Okelah, kalau “malas” yang dimaksud adalah yang bernada positif, seperti malas mendengarkan omong kosong, atau malas ngomong sesuatu yang ngalor-ngidul.

Tapi, bagaimana dengan malas berpikir?

Malas seperti ini bisa dibilang telah menjadi budaya bangsa ini. Sebut saja, mencontek! Dari SD sampai kuliah, siapa, sih, yang belum pernah mencon… maksud saya belum melihat fenomena ini? Kebiasaan tersebut sudah sangat mengakar tanpa penanggulangan yang sepenuhnya tepat.

Bayangkan, segala upaya seperti memasang CCTV, atau menerapkan sistem A, B, C, D, dan seterusnya pun tak dapat menanggulangi masifnya kebiasaan ini.

Seakan larangan absolut untuk mencontek hanya sebatas relasi antara siswa dan guru. Untuk sekolah dan lembaga secara umum? Yowis gitulah!

Sebetulnya, jika ditarik lagi dari muara asalnya, kebiasaan ini juga muncul karena tuntutan yang “di atas” untuk bisa lulus dengan kriteria tertentu.

Akibat nilai dan kriteria yang sudah rigid inilah, tak heran para siswa akhirnya menerapkan praktik buruk tersebut. Lulus, sih, iya. Tapi, kemalasan berpikir juga tak ketinggalan!

Selain itu, kasus contek mencontek ini bisa pula kita tarik benang merahnya ke praktik plagiasi. Apa kesamaannya? Betul, kemalasan berpikir.

Kedua praktik tersebut sama-sama bermuara dari suatu standar baku agar bisa lulus dengan kriteria tertentu, yang pada akhirnya “memutus” kreativitas lewat praktik kotor tersebut.

Dari fenomena mencontek yang mengakar inilah praktik plagiasi dapat sukses menjalar layaknya semak belukar.

Perlu Strategi Tepat agar Plagiasi Bisa Dibabat

Sudah menjadi makanan sehari-hari bahwa aspek penyimpangan serta praktik-praktik nakal pada dunia akademik hanya mendapat gertak sambel tok, alias cuman pedas di awal dan hanya menitikberatkan pada sanksi tanpa melihat secara jernih permasalahan di akar.

Layaknya kasus mencontek yang lebih menitikberatkan pada penanggulangan lewat CCTV ketimbang merombak kriteria penilaian yang disamaratakan tiap orang.

Di sini, pemangku kebijakan haruslah mampu menganalisa lebih jauh akar persoalan yang dihasilkan dari “semak belukar” praktik nakal plagiasi.

Bisa jadi ada beban kerja cukup melimpah di antara tugas dan tanggung jawab civitas akademika. Atau bisa jadi karena alokasi anggaran riset yang masih belum cukup sempurna, bahkan jauh dari 1% PDB Indonesia seperti yang diungkapkan UNESCO pada 2023.

Aspek-aspek yang sudah disebutkan di atas tentunya bisa menjadi penyebab mengapa daya kreativitas dari para civitas akademik menurun atau bahkan nihil.

Tentunya, jika alokasi anggaran bisa serius, performa pun bisa menjadi becus karena kelengkapan instrumen riset mampu dikuasai secara memadai.

Selain aspek anggaran, aspek kuantitas juga harus mampu dilibas agar kreativitas pun mampu berbuah bernas. Peningkatan kuantitas atas dasar keterdesakan waktu dan kredit harus mampu menjadi perhatian serius untuk menghasilkan karya riset yang lebih serius pula tentunya.

Toh, kalo bebannya agak plong dikit bakal enak ngerjainnya dan lebih bernas juga, kan.

Akhir kata, persoalan naskah akademik yang sudah menjadi rahasia umum ini haruslah mendapatkan perhatian serius agar reaksi rantai layaknya peribahasa pada paragraf pertama tulisan ini dapat ditanggulangi.

Jangan sampai normalisasi akan adanya karya non-orisinil terus dipelihara. Cukuplah para akademisi frustasi akan adanya indikasi plagiasi pada satu kata “the” atau pada variasi kata imbuhan di Turnitin mereka daripada tersenyum atas hasil indeks plagiasi yang terus dinormalisasi. Wis, angel!

Penulis

Muhammad Agung Dzaki

Mahasiswa semester akhir yang suka membangkang dengan ketikan keyboard dan akal sehat.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel