Yakinlah, bahwa generasi baru akan terus tumbuh.
Saya yakin, kalimat itu telah menubuh di kedirian klub berjuluk De Godenzonen, AFC Ajax. Klub yang bermarkas di Johan Cruyff Boulevard 29, 1011, Ax Amsterdam, Belanda ini sejak lama telah menasbihkan diri sebagai penghasil pemain berbakat yang disegani banyak klub Eropa, bahkan dunia.
Mulai dari Johan Cruyff, Pit Keizer, Frank Rijkaard, Marco van Basten, Clarence Seedorf, Frank de Boer, Edwin van der Sar, hingga generasi termutakhir yang diwakili Matthijs de Ligt dan Frenkie de Jong.
Tanah Amsterdam tampaknya akan terus terberkati bergerilya melahirkan pesepakbola hebat kelas dunia. Di sana, kita mendapati talenta hebat yang terus bermunculan selama beberapa dekade. Dan banyak di antaranya lahir di Ajax.
Klub bernama lengkap Amsterdamsche Football Club Ajax ini sendiri diinisiasi oleh Floris Stempel, Carel Reseer, Han Dade, dan John Dade pada 18 Maret 1900. Seperti penamaan beberapa klub yang berkompetisi di Eredivisie, keempat inisiator itu juga terinspirasi dari mitologi Yunani.
Mereka mengambil Ajax, sosok pahlawan dalam mitologi Yunani yang terkenal kuat dan berani tatkala melawan Hector dalam Perang Troya. Selain sebagai nama klub, sosok Ajax kemudian direpresentasikan menjadi logo klub pada 1928.
Periode awal klub ini bisa dibilang tidak berjalan mulus, hingga kedatangan Jack Reynolds pada 1915. Selain menjadi sosok yang mempersembahkan gelar juara liga Belanda pertama Ajax pada 1918, Reynolds juga punya andil besar bagi perkembangan akademi muda klub.
Embrio kesuksesan Ajax memang tak luput dari binaan hebat akademi mereka, De Toekomst. Salah satu bukti nyata keberhasilan akademi ini bisa dilihat pada kesuksesan De Godenzonen di periode 90-an.
Diisi pemain muda jebolan De Toekomst, Ajax berlayar jauh di pergelaran Liga Champions 1994/1995. Tak ada klub yang sanggup membendung kekuatan Danny Blind dkk.
Mengandalkan filosofi permainan Total Football warisan Rinus Michels dan suksesornya, Johan Cruyff, anak-anak muda asuhan Louis Van Gaal itu sukses menjungkalkan peraih delapan gelar Liga Champions, AC Milan, di partai final dengan skor tipis 1-0.
Kehadiran klub dengan tiga gelar Liga Champions ini, bagi saya, akan selamanya diperhitungkan dalam kancah sepak bola dunia. Sebab, Ajax punya sejarah unik, romantika keintiman dengan sepak bola, kerendahhatian, dan pengabdian yang tulus.
Inilah yang membuat saya takjub pada klub ini. Ketakjuban pada sosok legenda Ajax, Johan Cruyff, dan pemain masa depan yang senantiasa lahir dari klub ini.
Tentang Cruyff, Barcelona, dan Masa Depan yang Tak Perlu Dicemaskan
Sebagai fans Barca, saya turut takjub pada Ajax. Kekaguman pada Barca punya jalinan genealogis yang erat dengan Ajax. Bicara soal Ajax, berarti juga bicara soal Johan Cruyff dan Barcelona.
Cruyff sukses mengusung filosofi tiki-taka yang jadi penanda dimulainya era baru di dunia sepak bola. Era di mana permainan indah Total Football ditahtakan.
Kehadiran Cruyff dan Totall Football-nya bisa dibilang sukses mendobrak dominasi taktik Cattenacio ala Italia kala itu. Berkat sentuhan Total Football lah, Barca yang saat itu terseok-seok, perlahan kembali ke performa terbaiknya.
Bahkan, sukses meraih trofi Liga Champions untuk pertama kali pada 1992/93, mengalahkan Sampdoria 1-0 lewat tendangan Canon Ball Ronald Koeman, sang pemain belakang yang juga pernah membela Ajax.
Tidak hanya itu, warisan Cruyff tersebut telah menjadi filosofi bermain Blaugrana yang terus dilanggengkan hingga kini. Maka, tak ada yang aneh ketika Pep Guardiola bilang, “Cruyff telah membangun sebuah katedral di sini, di stadion Camp Nou”.
Cruyff bukan cuma legenda. Dalam salah satu trilogi sepak bolanya, Bola di Balik Bulan, Shindunata bahkan turut mencatut nama ‘Cruyff’ sebagai ‘mitos’ yang tak bisa dihilangkan dalam sepak bola bersama Pele, Maradona, Beckenbauer, dan Michael Platini.
Cruyff telah mendedah jalan keluar bagi perkembangan bola modern dengan diktumnya yang terkenal “Playing football is very simple, but playing simple football is the hardest thing”. Tampak bak fatwa seorang uskup agung ketika Cruyff bilang “memainkan sepakbola sederhana adalah hal tersulit”.
Pep sendiri di kemudian hari sukses mengamalkannya kala melatih Barca. Kita lihat betapa Barca era Pep sukses membikin lawan tercengang. Bukan karena kehebatan dribbling sang mega bintang, Lionel Messi. Namun, itu semua berkat perpaduan antara taktik tiki-taka dengan komposisi pemain yang tepat.
Contohnya seperti Iniesta dan Xavi, dua sosok yang hingga kini masuk dalam daftar nama-nama gelandang terbaik sepanjang masa. Mereka tak banyak bawa bola, tapi cerdas secara visi dan punya keakuratan umpan di atas rata-rata.
Pada 24 Maret 2016, Cruyff sang seniman itu akhirnya memungkasi narasi perjalanan hidupnya di dunia sepak bola silam karena kanker paru-paru yang dideritanya. Barcelona dan Ajax memberikan penghormatan luar biasa padanya.
Di Barcelona, tempat di mana ia menghembuskan nafas terakhir, dibuatkan patung perunggu setinggi 3,5 meter di depan pintu masuk utama Camp Nou. Demikian pula Ajax yang mengubah nama stadion Amsterdam Arena menjadi Johan Cruyff Arena. Sekali lagi, itu semua demi sang legenda!
Perubahan nama kandang, bagi saya, melebihi hanya sekadar dedikasi. Di balik itu semua, ia punya daya magis yang memancarkan semburat keteguhan, komitmen, dan kearifan. Ada etos tak tertangguhkan untuk meneruskan kejayaan. Itulah yang kini hendak dilakukan Ajax.
Melalui akademinya, De Toekomst, Ajax bisa dibilang menjadi salah satu klub paling serius dalam membina pemain muda.
Penggemar sepak bola barangkali sangat jarang melihat Fabrizio Romano mengumumkan ‘Here We Go!‘ di tiap bursa transfer yang memperlihatkan seorang pemain baru akan bermain untuk Ajax.
Bukan lantas Ajax tidak menguntungkan secara finansial. Ajax justru hendak menasbihkan dirinya sebagai antitesis klub elite Eropa, bahkan Arab, yang gemar menggelontorkan uang untuk merekrut pemain.
Ajax memperoleh pemain-pemain berbakat, ya karena mereka tekun membina dan menempa bibit pesepakbola unggul. Ajax percaya adagium ‘proses tak kan pernah mengkhianati hasil!’.
Sehingga, tak perlu khawatir jika di masa depan banyak pemain bintang klub-klub Eropa memilih hijrah ke Liga Arab di penghujung sisa kariernya. Sebab kita percaya, Eropa selamanya akan tetap kompetitif.
Itu bisa dilihat dari segi ketatnya persaingan liga, pelatih, dan manajemen klub yang hebat, serta tentu saja tak kekurangan talenta-talenta berbakat.
Untuk yang terakhir ini, Ajax menjadi salah satu yang terdepan. Akademi De Toekomst—sesuai artinya ‘masa depan’—bisa jadi investasi jangka panjang peradaban sepak bola Eropa, bahkan dunia.
Lihatlah, nyaris tak ada yang mengira Ajax di Liga Champions 2018/19 mampu mengejutkan publik sepak bola. Sebagai tim kuda hitam, komposisi Ajax mayoritas dihuni pemain muda energik.
Mereka sukses menghantam sang juara bertahan, Real Madrid, dengan agregat 5-3 pada babak 16 besar. Tak berhenti di situ, De Godenzonen kembali bikin kejutan.
Di babak perempat final, anak asuh Erik Ten Hag sukses membikin kampiun Serie A, Juventus, tunduk lewat agregat 3-2. Kemenangan ini menghantarkan Ajax ke semifinal untuk pertama kalinya sejak 22 tahun yang lalu.
Menyusul pencapaian tersebut, banyak klub besar Eropa kepincut dengan pemain-pemain Ajax. Di bursa transfer 2019/2020, misalnya, klub macam Barcelona, Juventus, Inter Milan, Manchester United, Chelsea, hingga Borussia Dortmund bersaing ketat untuk mendapatkan jasa para pemain yang mengantarkan Ajax ke semifinal Liga Champions 2018/2019. Mereka yang pindah rata-rata sukses bersama klub barunya.
Hengkangnya sang kapten, Dusan Tadic, ke Fenerbahce di musim panas ini kian meneguhkan akhir cerita kejayaan Ajax 4 tahun lalu itu. Kini, saatnya Ajax benar-benar memulai era baru.
Namun, Ajax tak perlu khawatir soal itu. Akademi mereka sangatlah profesional dan bisa diandalkan. De Toekomst adalah harapan. Ia akan selamanya bersemayam dalam diri De Godenzonen.
Baca Juga: Kultur Rekrutmen Kerja yang Makin Jancuk