Bulan maret lalu, tepat sudah 21 tahun meninggalnya Nike Ardila. Di suatu malam jahanam, nyawanya terenggut dalam kecelakaan mobil. Pada usia 19 tahun, pelantun lagu Sandiwara Cinta ini telah mendapatkan tempat yang teristimewa di kalangan pecinta musik.
Album terakhirnya berhasil menembus angka penjualan 5 juta kopi. Tapi, karir musik yang cemerlang tersebut harus berhenti karena takdir kematian yang tidak bisa terelakkan oleh siapapun.
Saya masih kecil saat semua terjadi. Bahkan belum sekolah. Saya hanya mengenal Nike Ardila lewat lagu-lagunya.
Setahu saya yang tidak berbakat di bidang musik ini, tidak ada lagi yang seperti Nike hingga saat ini. Nike seharusnya menjadi simbol ladyrocker bersama dengan Nicky Astria dan Inka Christie.
Dalam buku 100 Perempuan Paling Berpengaruh di Indonesia, Nike Ardila menempati posisi keempat karena pengaruhnya di aliran musik slow rock. Namun, aliran musik ini semakin pudar setelah kepergiannnya. Membayangkan kesuksesan itu diraihnya di usia 19 tahun sungguh bisa membuat tulisan ini terhenti karena kehabisan kata untuk diketik.
Media-media saat itu banyak mengaitkan kematian Nike merupakan rekayasa yang dibuat orang-orang di lingkaran Keluarga Cendana. Eno Sigit, putri Sigit Harjojudanto, yang berarti juga juga cucu Presiden Soeharto dituding menjadi orang yang paling bertanggung jawab.
Berbagai fakta di TKP dan laporan kepolisian juga menunjukkan berbagai kejanggalan. Untuk lebih lengkapnya, pembaca bisa menelusuri informasinya yang tersebar di internet.
Pemaknaan Lirik Sandiwara Cinta
Di sumber-sumber itu memang disebutkan bahwa alasan Eno merekayasa kematian Nike lantaran persaingan cinta memeperebutkan Tommy Nasution. Namun yang patut dicurigai, sebenarnya itu semua tidak benar.
Eno hanya dijadikan tameng oleh kakeknya. Supaya jika rekayasa itu terendus masyarakat, Eno lah yang jadi sasaran. Maklum, gerakan masyarakat menentang Mbah Harto di tahun 1995 itu sudah semakin terasa menjelang pemilu 1997.
Justru lagu di album terakhir Nike lah penyebab kematiannya. Lagu itu berjudul sama seperti albumnya, Sandiwara Cinta.
Lagu ciptaan Dedy Dores ini bagai serigala berbulu domba. Tampilannya saja seperti lagu cinta. Padahal di dalamnya ada sejarah tentang Orde Baru.
Lengkap dari awal Supersemar hingga menjelang kejatuhannya. Keseluruhannya seolah bercerita tentang kekasih yang merasa dipermainkan oleh pasangannya. Padahal berarti rakyat yang dikhianati penguasanya.
Bait pertama lagu ini dimulai dengan pertanyaan: mengapa kau nyalakan api di hatiku? Tampaknya si kekasih (atau rakyat) sudah mulai menyadari bahwa api itu tidak seharusnya menyala.
Ya, api Orde Baru adalah kesalahan. Api yang membawa serta bayang-bayang indah dan membuat terlena akan kehangatannya. Nyatanya pemerataan pembangunan hanya bualan, kesejahteraan cuma angan.
Selanjutnya semakin terbukalah penyebab utamanya. Si pasangan (atau penguasa) sering marah tanpa alasan. Petrus di mana-mana, yang bersuara diberangus, aktivis diculik.
Ini semua memunculkan kecurigaan. Sekaligus harapan akan keterbukaan informasi tentang apa yang terjadi. Serta penjelasan tentang maksud perbuatan-perbuatan itu.
Tapi rupanya semua itu diacuhkan. Jadilah tindakan harus diambil. Walau berat hati, pasangan (atau penguasa) itu harus dilupakan. Karena mengingatnya saja sudah menimbulkan rasa benci.
Hingga akhirnya lirik ini ditutup dengan kalimat: jalanku masih panjang. Dimana ini seolah berkata, rakyat harus terus melangkah, menyingkirlah (penguasa), dan jangan halangi. Reformasi!
Ujung-ujungnya, lagu ini menganggap Orde Baru dan segala tetek-bengeknya itu hanya tak jauh beda dengan sandiwara cinta. Hanya bermanis-manis dimuka, lalu khianat kemudian. Dan ini masih menjadi lagu yang pas jika dikaitkan dengan kejadian-kejadian politik kekinian. Seperti partai politik tidak lagi dipercaya di ibu kota yang memunculkan istilah deparpolisasi.
Kejadian yang sebenarnya hanya pengulangan sandiwara yang sama. Dimulai dari janji manis yang menyalakan api cinta. Lalu yang dicinta menjadi tak berperasaan. Diakhiri dengan keputusan untuk pisah jalan. Jadi istilah deparpolisasi itu tidak pas, istilah move on akan terdengar lebih baik.
Sebenarnya tidak ada yang tahu apakah lagu ini benar-benar berisi tentang kritik terhadap Orde Baru. Hanya Dedy Dores yang tahu. Ini semua hanya fantasi yang muncul begitu saja ketika mendengarkan lagu ini sembari melihat berita kontroversi pemberian gelar Suharto.
Namun setidaknya, kita tahu bahwa untuk menyindir kedzaliman penguasa tidak perlu lagu-lagu yang sekeras milik Iwan Fals. Apalagi di era dimana penguasa sudah terbiasa dengan kritik keras. Cukup nyanyikan lagu cinta, terutama yang bertema patah hati. Karena semuanya memang seperti sandiwara cinta.