Tafsir Ngehek BDSM dalam UU Perkawinan

Tafsir Ngehek BDSM dalam UU Perkawinan

Tafsir Ngehek BDSM dalam UU Perkawinan
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Apakah ketika pasangan suami istri melakukan BDSM entah itu si suami ke istrinya, ataupun sebaliknya, masih dianggap sebagai wujud cinta? Atau akan dianggap kekerasan dalam rumah tangga?

Salah satu topik yang mendapat perhatian penting dalam penelitian ilmu hukum sampai sekarang adalah perkawinan. Khususnya, mengacu pada UU No. 1/1974.

Hingga saat ini, sebagian undang-undang tersebut masih berlaku. Walaupun sudah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019.

Yang mana lebih menekankan pada batas usia perkawinan, yakni apabila pria dan wanita mencapai umur 19 tahun.

Tapi yang menarik soal UU No. 1/1974, ada pada Pasal 33. Di sana dinyatakan bahwa suami istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.

Baca Juga: Indonesia Kekurangan Penghulu, Emang Apa sih Dampaknya Buat Kita?

Perkara Salah Tafsir

Mungkin bagi subjek hukum yang lahir di tahun 1950 hingga 1965-an, cinta adalah betul-betul cinta. Menemui pasangan, menggandeng pasangan, dan berkata sayang pada pasangan.

Intinya adalah cinta seperti apa yang ditulis dalam pengertian UU tadi, gak neko-neko.

Kegiatan “bercocok tanam” pun juga sewajarnya atau sering kali tanpa “kekerasan”. Gak aneh-aneh lah, gak kayak sekarang.

Gak kayak sekarang tuh maksud saya seperti mengacu pada aliran-aliran film dewasa. Yang  seringkali terbagi menjadi softcore dan hardcore.

Banyak istilah-istilah yang selalu berkembang seperti kinky, cachonda atau yang populer Bondage, Dominance, Sadism, Masochism (BDSM).

Tentu pembaca lebih paham lah yaaa dengan aliran lainnya, namun dalam tulisan ini saya akan berfokus pada BDSM.

Pertanyaannya, apakah ketika pasangan suami istri melakukan BDSM entah itu si suami ke istrinya, ataupun sebaliknya, masih dianggap sebagai wujud cinta?

Atau akan dianggap kekerasan dalam rumah tangga?

Padahal mereka melakukan BDSM itu dengan saling setuju satu sama lain.

Bayangin adegannya di kamar temaram, dengan AC menyala, tapi badan dipenuhi keringat sebagai wujud cinta yang mungkin tidak semua orang menerimanya.

Andaikata seorang mendengar tetangganya berteriak “sakit pa… sakit…” pada waktu malam maka bisa saja suasana akan ramai dan runyam.

Karena dikira ada sebuah tindak kekerasan. Dan setelah dilakukan penggrebegan akan muncul rasa malu di antara kedua pihak.

Jika sudah terlajur begini, sebuah klarifikasi kepada warga agar tak dilaporkan ke pihak berwajib, atas dugaan kekerasan dalam rumah tangga juga akan menimbulkan momen canggung tersendiri.

“Maaf…bapak-bapak, ibu- ibu sekalian….telah menimbulkan kegaduhan…. istri saya berteriak kesakitan bukan karena kekerasan, tapi…. Hmmm… anu” bingung sendiri jadinya.

Jadi nanggung kan, padahal baru aja mulai “pecutan” pertama, malah kena tuduh melakukan kekerasan. Udah nafsu dipuncak… eh, kena apes gara-gara salah paham.

Memang, kalua dipikir-pikir, adegan dalam BDSM itu beda tipis atau bahkan mirip dengan beberapa unsur yang disebut dalam UU No. 23/2004 pasal 5.

Yang isinya, setiap orang dilarang melakukan kekerasan terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Hal tersebut meliputi; kekerasan fisik, psikis, seksual, atau penelantaran rumah tangga.

Yang pasti memang terjadi kekerasan fisik, salah satu pasti ada luka merah-merah entah karena sabetan telapak tangan, pecut atau alat peraga lainnya.

Psikis juga terserang, tapi bukan rasa takut atau trauma yang muncul, entah apa, kenikmatan mungkin, rasa didominasi? Entahlah, saya juga belum pernah mencobanya xixixi.

Ada missing dalam memahami isi undang-undang ketika perubahannya terjadi setelah belasan tahun.

Memang dalam kajian ilmu perundang-undangan, suatu peraturan perundang-undangan tidak akan bisa mengatur apapun di masa yang akan datang.

Namun kekuasaan legislatif dan eksekutif, seharusnya bisa memperkirakan apa yang akan terjadi.

Di dalam UU No. 16/2019 sebetulnya ada pengaturan tentang penyimpangan, tetapi penyimpangan bukan dalam arti cinta-mencintai yang “melenceng”.

Apabila pria dan wanita yang melangsungkan perkawinan umurnya belum 19 (sembilan belas) tahun maka itu disebut penyimpangan. Artinya harus dapat dispensasi kepada pengadilan disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.

BDSM sebagai Kreativitas Tinggi dalam Urusan Ranjang

Mengapa saya mengajak pembaca untuk menelaah pasal-pasal yang kurang populer karena seringkali ketika membaca undang-undang hanya berfokus pada sanksi.

Dan isu-isu yang sering menjadi ajang perdebatan padahal seluruh isi teks undang-undang bobotnya sama.

Artinya, ketika ingin mengetahui secara baik maka harus membaca secara keseluruhan dan lebih sempurna lagi ketika mengetahui naskah akademiknya.

Namun tidak semua peraturan perundang-undangan ada naskah akademiknya. Karena keterbatasan dalam akses. Mungkin juga terlewatkan mengapa ada peraturan perundang-undangan dan ada undang-undang.

Peraturan perundang-undangan meliputi antara lain undang-undang, peraturan pemerintah hingga peraturan daerah, sedangkan undang-undang adalah undang-udang itu sendiri.

Dalam perspektif ilmu hukum, keberadaan frasa cinta-mencintai ini dapat ditafsirkan oleh siapapun. Namun tafsiran yang bisa diikuti adalah milik Mahkamah Konstitusi.

Lagipula kalau saya melakukan “kekerasan” atas dasar cinta kepada istri pada malam minggu, maka tidak akan ada selesainya.

Dalam tulisan ini, saya tidak mempermasalahkan BDSM menjadi ajang cinta-mencintai bagi suami dan istri asalkan suara mereka tidak terdengar siapapun.

Hal ini penting karena posisi “bercocok tanam” yang dilakukan terhadap istri atau suami menunjukkan tingkat kreativitas yang tinggi.

Saran saya, kepada para pasangan yang punya kreativitas tinggi ini dalam urusan ranjang, mending segera melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Alasannya simpel, agar saat “main” gak dilaporkan dikira kekerasan dalam rumah tangga.

Editor: Pramana Jati
Penulis

Tomy Michael

Senang jalan-jalan dan memiliki ketertarikan pada hermeneutika hukum.

Cari Opini

Opini Terbaru
Artikel Pilihan

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel