Mengapa Hari Valentine aka Hari Kasih Sayang dilarang bagi siswa? Pertanyaan ini sudah terlalu out of date bagi saya, karena saya lebih dulu mendapatkan jawabannya daripada anak kekinian zaman sekarang.
Ketika Grup Band Hijau Daun masih eksis dulu, guru SMA saya melarang para siswa merayakan hari valentine. Sebab, sejarah terpatrinya 14 Februari sebagai hari penuh cinta tersebut tidak sesuai dengan Syariat Islam.
Kenapa Dilarang Merayakan Hari Valentine?
Ajaran Yahudi lekat dengan hari ini, sehingga guru saya tidak ingin ajaran agama yang mereka ajarkan di sekolah ‘muspro’, hanya karena sekolah tidak melarang siswanya merayakan hari valentine. Saya hormati aturan sekolah saya yang notabene berbasis Islam, karena saya pikir memang belum ada sejarah yang menyebutkan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah merayakan valentine.
Jawaban logis kedua yang pernah saya dapat ketika hari valentine tidak perlu dirayakan adalah: karena untuk memberi kasih sayang tidak menunggu tanggal 14 Februari. Bayangkan, betapa tersiksanya hidup kalian yang sudah jomblo plus tanpa kasih sayang dari orang sekitar: orang tua, teman, satpam sekolah, atau bahkan ibu penjual pecel, bila saling mengasihi hanya bisa dilakukan pada 14 Februari.
Kalian tidak akan merasakan kasih sayang berupa uang saku, teman bermain yang asyik, dispensasi karena telat sekolah, dan belas kasih dalam bentuk “boleh ngutang” demi sebungkus pecel. Betapa hampanya jika seluruh simpati tersebut dilakukan hanya dalam satu hari. Belum lagi ketika tidak dikasihani penjual pulsa, kalian pasti menjadi makhluk basi karena tidak bisa update Sediksi.
Pelarangan merayakan Hari Valentine lambat laun menjadi suatu hal yang wajib. Bukan hanya sekolah berbasis Islam saja yang melarang, sebagian besar institusi pendidikan pun ikut-ikutan.
Para pendidik panik ketika Januari berganti Februari, apalagi saat mereka menyadari banyak pusat perbelanjaan yang memoles venue mereka dengan nuansa merah jambu. Belum lagi ada promo cokelat, boneka, bucket bunga, bahkan sampai segala pernik fashion.
Diskon dalam komoditas-komoditas yang jelas dilirik oleh pelajar ini pasti menjadi faktor pendukung mengapa siswa dilarang merayakan hari valentine. Begini maksudnya, sebagian uang saku siswa akan disisihkan untuk membeli kado, kemudian mereka rela tidak sarapan. Tidak sarapan sangat mengganggu konstentrasi belajar apalagi jadwal mata pelajaran pagi. Masuk akal.
Nah, pemahaman-pemahaman logis nan simpel yang telah saya sebutkan di atas mayoritas disampaikan secara tidak asik oleh para pemangku kebijakan di Indonesia. Guru seakan disetir oleh para kepala publik dalam mengimbau para siswa untuk tidak merayakan Valentine.
Sebut saja di Magelang. Merujuk pada berita online Kompas (12/2/2016), Pemkot mengeluarkan instruksi larangan perayaan valentine kepada pelajar karena tidak sesuai budaya di Indonesia dan tidak mencerminkan Kota Magelang sebagai smart city.
Mungkin, pejabat publik ini belum membedah secara utuh, kultur sebelah mana yang ia maksud tidak sesuai dengan budaya Indonesia. Bukankah memakai celana jins juga tidak termasuk budaya Indonesia, lalu mengapa pelajar tidak diwajibkan memakai jarik saat bermain di luar sekolah?
Alasan lain, tidak mencerminkan branding kota. Politic, again and again. Apakah pelajar yang saling bertukar cokelat di Hari Valentine akan dihukum karena tidak sesuai branding kota? Adilnya di mana coba? Apakah kegiatan memberi bunga dalam hari kasih sayang tidak mencerminkan pribadi yang smart dan dianggap bodoh atau tidak terdidik?
Para pejabat publik terlalu terburu-buru dalam mengklaim. Smart city yang disematkan pastilah tercermin dari prestasi siswanya dan kualitas pendidikan kota tersebut. Sedangkan kegiatan memberi cokelat, bunga, atau boneka di luar konteks pendidikan itu sendiri bagian dari ekspresi, dan negara menjamin kebebasan akan hal tersebut.
Ini sama halnya ketika kalian dilarang pasang foto dengan pacar karena tidak mencerminkan branding kota sebagai smart city, kejauhan bukan?
Penyampaian yang kaku dan terkesan ego sentries tercermin dari pejabat publik dan para guru yang terkesan tidak memiliki pilihan untuk memberi pemahaman yang ‘membumi’ kepada siswa. MUI pun turut andil dalam pelarangan ini.
Segala pencitraan dan ketidakterbukaan malah membuat pendidikan kepada siswa tidak tersampaikan secara clear. Ketika para ilmuwan dan para petinggi kota sibuk berseteru untuk mengeluarkan fatwa ini itu, perspektif siswa usia 17-an yang cenderung labil pasti akan memilih berontak, meski sedikit.
Di saat siswa didorong untuk berorasi menolak Hari Valentine, di sisi lain…
Mereka pasti akan tetap berada di mall sepulang sekolah untuk melihat-lihat diskon jajanan Hari Valentine, tetap mengucapkan ‘Happy Valentine’ pada pacarnya, dan tetap membeli cokelat untuk para mantannya. Itu semua, akan mereka lakukan tanpa sepengetahuan guru-guru pencetus larangan valentine.
Bukankah kegiatan ‘merayakan’ tidak harus bersifat publisistik? Bupati Pamekasan akan kewalahan menghukum para siswa yang merayakan valentine, jika seluruh siswanya terang-terangan dalam merayakannya.
Belum lagi, Kepala Sekolah yang kerepotan jaga 24 jam memantau apakah siswanya berkeliaran merayakan valentine atau tidak. Bila memang valentine tidak sesuai dengan syariat Islam, lalu bagaimana dengan mereka yang bukan Islam dan ingin berkasih sayang ria?
Kalau memang mau ngelarang, coba dong pakai cara yang lebih asik daripada sebatas oral. Misalnya, guru memberi tips agar siswanya merayakan hari valentine tanpa miras, narkoba dan perzinahan. Pelarangan bisa juga dilakukan dengan cara lain.
Tahun ini kan hari valentine bertepatan pada hari Minggu, berarti besoknya Senin. Siswa pasti memiliki agenda upacara bendera dan kegiatan belajar di sekolah. Buat saja kuis serentak yang hasilnya berpengaruh pada nilai rapor siswa, sehingga siswa otomatis akan mengesampingkan perayaan Valentine dan memilih nonton TV di rumah (bagi yang malas belajar).
Mereka mungkin akan stay inside dengan menonton suguhan India romantis dari stasiun TV nasional pemancar acara Upin dan Ipin. Lebih baik siswanya nonton TV kan, daripada keluyuran yang bisa berujung pada miras, narkoba, dan perzinahan?
Pondasi hukum, agama dan moral sepertinya sudah cukup menjadi bekal siswa untuk menentukan pilihan. Segala bentuk pelarangan di hari valentine sebenarnya untuk kebaikan siswa juga agar mereka tetap menjadi insan terdidik yang jauh dari perbuatan tidak baik. Miras, perjudian, pertengkaran, narkoba, seks di luar nikah adalah larangan bagi kalian, wahai para pelajar. Jadi, jauhilah!
Untuk bagian tukar cokelatnya, saya rasa tidak masalah. Jika teman kanan-kiri kalian enggan menerima karena takut dijewer bupati, promo cokelatnya gunakan saja. Tim Sediksi pada doyan yang manis-manis kok. Salam.