Sediksi.com – Fenomena politik uang begitu nyaring kita dengar di setiap ajang kontestasi pemilu yang berlangsung di negeri ini.
Tidak heran jika nantinya, kita akan tetap menemui politik uang menuju pemilu 2024. Sebab, politik uang seolah menjadi hal lumrah yang telah membudaya di masyarakat.
Praktik politik uang ini biasanya terjadi berupa pembelian suara pemilih oleh peserta pemilu, simpatisan atau anggota partai tertentu yang kerap terjadi menjelang pemungutan suara.
Provinsi dan Kabupaten yang Rawan Politik Uang
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyebut ada sejumlah provinsi dan kabupaten yang memiliki tingkat kerawanan tinggi dalam melanggengkan praktik politik uang.
Hal tersebut tertuang dalam hasil analisis Bawaslu soal Indeks Kerawanan Politik (IKP) dan Pemilihan Serentak 2024 yang diterbitkan pada Minggu, (13/8) lalu.
Dari 34 provinsi yang ada di Indonesia, Bawaslu menegaskan ada lima provinsi paling rawan dengan isu politik uang disertai skornya:
- Maluku Utara (100)
- Lampung (55,56)
- Jawa Barat (50)
- Banten (44,44)
- Sulawesi Utara (38,89)
Sementara, 29 provinsi lainnya masuk dalam kategori rawan sedang terkait praktik politik uang. Bawaslu juga menambahkan bahwa tidak ada provinsi dengan kategori rawan rendah. Ini artinya, praktik politik uang ada di semua provinsi Indonesia.
Potret serupa juga berlaku di tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Total dari 514 kabupaten/kota yang ada, sebanyak 24 kabupaten/kota ini masuk kategori paling rawan berlangsungnya praktik politik uang.
Di mana Kabupaten Jayawijaya, Papua berada di posisi pertama dengan kerawanan politik uang paling tinggi. Selanjutnya, diikuti Kabupaten Banggai dan Banggai Kepulauan di Sulawesi Tengah, Kabupaten Sekadau di Kalimantan Timur dan Kabupaten Lampung Tengah di Lampung.
Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan bahwa modus politik uang ini terbagi dalam tiga bentuk yaitu memberi langsung, memberi barang, dan memberi janji. Modus pemberian langsung dapat berupa membagikan uang, voucher, atau uang digital sebagai imbalan untuk pemilih yang memilih calon tersebut.
“Yang nominalnya Rp20 ribu rampai Rp200 ribu. Murah ya? Padahal buat masa depan Indonesia,” tegasnya yang dilansir dari ANTARA pada Selasa, (15/8).
Mengapa Budaya Politik Uang Sulit Dihilangkan?
Bawaslu memiliki salah satu tugas di antaranya, mencegah terjadinya politik uang. Sementara, fenomena dan praktinya masih terus saja ada di ajang perhelatan demokrasi Indonesia.
Lantas, mengapa ya budaya politik ini sangat sulit untuk dihilangkan?
Jika merujuk pada buku berjudul “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014” yang ditulis oleh Aspinall dan Mada Sukmajati, istilah politik uang pengertiannya dipersempit untuk menggambarkan praktik yang merujuk pada distribusi uang (uang tunai dan terkadang dalam bentuk barang) dari kandidat kepada pemilih di saat pemilu.
Siapa sangka, sebenarnya praktik politik uang terjadi sejak zaman Belanda menjajah Indonesia.
Dikutip dari Radar Mojokerto, sejarawan Ayuhanafiq menjelaskan bahwa praktik curang tersebut terjadi di awal abad ke-20. Pada waktu itu, pemerintah kolonial memberlakukan peraturan dasar terkait wewenang desa untuk memilih kepala desa yang disukai. Syaratnya, hanya dengan menyesuaikan adat istiadat yang berlaku di masing-masing desa.
Demokrasi di tingkat desa dilakukan dengan mengambil suara terbanyak dalam pemilihan lurah. Namun, warga hanya diberikan hak untuk memilih apabila membayar pajak kepada Belanda.
Parahnya lagi, Belanda diam-diam memiliki kandidat untuk dicalonkan menjadi kepala desa sehingga jika kandidat tersebut terpilih, Belanda akan menyuruh warga melakukan kerja paksa hingga menarik pajak.
Mantan Ketua KPU Kabupaten Mojokerto periode 2014-2019 itu juga menjelaskan dari sanalah cikal bakal pemilu menjadi ternodai karena adanya praktik politik uang.
Baca Juga: Gratifikasi Mau Dipajakin, Biar Apa Sih?
Sayangnya, praktik politik uang ini telah membudaya pasca Indonesia merdeka hingga sekarang. Baik di lingkup pemilihan lurah, legislatif hingga pemilihan presiden sekalipun.
Anehnya lagi, praktik politik uang itu tidak lagi menjadi sempit tetapi meluas menjadi pemilih yang meminta uang kepada para calon agar mereka dipilih.
Sebenarnya, kenapa politik uang terus membudaya ini dapat dilihat dari berbagai sektor yang lebih luas. Keterlibatan calon dan masyarakat turut andil dalam melanggengkan praktik politik uang yang terus berjalan hingga kini.
Dalam keterangan yang dilansir dari iNews, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Dumairy menjelaskan bahwa tingkat kemiskinan dan kebodohan yang masih tinggi di Indonesia, membuat politik uang sulit hilang dalam agenda pemilu.
Selain itu, kesulitan ekonomi yang dimiliki penduduk miskin akan dimanfaatkan para politikus dalam menggencarkan politik uang.
“Politik uang ini kan paling subur memang ada di kalangan orang miskin,” ujarnya.
Senada dengannya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga menyebut politik uang atau money politic terus berjalan karena kondisi masyarakat yang kurang sejahtera dan pendidikan yang belum membaik.
“Saya harus sampaikan 50 persen masyarakat kita itu masih belum sejahtera dan 50 persen lebih itu juga tingkat pendidikannya belum membaik,” ungkapnya saat Konferensi Pers di Jakarta pada Senin, (14/8) kemarin malam.
Memutus Rantai Korupsi
Itu mungkin hanya sebagian kecil alasan kenapa politik uang menjadi penyakit di setiap gelaran pemilu.
Menyedihkannya lagi, tahukah kamu kalau politik uang ini rupanya menjadi induk lahirnya korupsi atau disebut “mother of corruption”.
Dalam ulasannya, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arief, mengatakan bahwa politik uang menyebabkan politik berbiaya mahal.
Ini juga akan menghasilkan pemimpin yang kurang representatif dan akuntabel dalam pengambilan keputusannya.
“Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompetensi atau kuat berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apa pun, ini bukan sosok pemimpin yang ideal,” terangnya yang dilansir dari Pusat Edukasi Antikorupsi.
Pejabat yang terpilih karena korupsi politik, berikutnya akan mendorong korupsi di sektor-sektor yang lain, karena ia mengumpulkan uang “balik modal” selama prosess kampanye berlangsung.
Buruknya, masyarakatlah yang akan menjadi korban karena bisa melahirkan regulasi yang tidak memihak, pungutan liar, hingga pemotongan anggaran untuk kesejahteraan.
“Kerugiannya kepada masyarakat, pasti akan muncul pungutan liar, karena dia harus mencari sumber dana lain. Dia juga akan memotong anggaran, sehingga kualitas pembangun berkurang. Dalam hal ini, masyarakat mengalami kerugian langsung dan tidak langsung,” sambung Amir.
Jika masyarakat saja menerima dan membiarkan politik uang, bukankah artinya sama saja kita melanggengkan korupsi? Lantas, jangan hanya menggerutu saat ada pejabat yang melakukan korupsi, kita jugalah yang harus intropeksi diri karena membiarkan penyakit tersebut terus terjadi.