Sediksi.com – Film Dirty Vote tengah ramai dibahas dan menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di media sosial X, Instagram, juga TikTok. Film berdurasi 1 jam 57 menit itu merupakan film dokumenter yang mengungkap kecurangan pemilu tayang pada Minggu, (11/1) kemarin di YouTube Dirty Vote.
Dalam pemaparan artikel Sediksi kali ini, tidak akan membahas mengenai kecurangan pemilu 2024 yang masif terjadi sebab, begitu sangat detail dibahas dalam film Dirty Vote. Terlebih karena adanya ketiga pembicara yang merupakan ahli hukum tata negara dalam film tersebut. Publik menjadi tahu mengenai berbagai kecurangan pemilu 2024 yang terjadi, tak lainnya juga karena faktor sang sutradara film Dirty Vote. Dia adalah Dandhy Dwi Laksono.
Nama Dandhy Dwi Laksono terkenal sebagai seorang sutradara Indonesia yang terkenal dengan karya-karya dokumenternya yang mengkritik berbagai isu sosial, politik, dan lingkungan. Lantas, siapa sih sebenarnya Dandhy Dwi Laksono ini? Berikut profil Dandhy Dwi Laksono.
Profil Dandhy Dwi Laksono
Dandhy Dwi Laksono lahir pada 29 Juni 1976 di Lumajang, Jawa Timur. Ia menempuh pendidikan sarjana di jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjajaran, Bandung. Ia juga mengikuti berbagai program dan workshop tentang jurnalistik dan media di dalam dan luar negeri, seperti di Amerika Serikat, Inggris, Filipina, Thailand, China, Malaysia, dan Korea Selatan.
Dandhy Laksono memulai karier jurnalistiknya pada tahun 1998 di tabloid Kapital dan majalah Warta Ekonomi. Ia kemudian beralih ke media radio, seperti Pas FM, Smart FM, Ramako, dan menjadi stringer di radio ABC Australia.
Ia juga pernah menjadi produser berita di Liputan 6 SCTV dan Kepala Seksi Peliputan di RCTI. Selain itu, ia juga pernah memimpin majalah dan situs acehkita.com, sebuah media alternatif di masa pemberlakuan darurat militer di Aceh pada tahun 2003-2005.
Dandhy Laksono sendiri juga aktif sebagai aktivis dan pendiri dari Watchdoc, sebuah rumah produksi yang berfokus pada film-film dokumenter yang mengangkat isu-isu kritis dan marginal. Ia juga terlibat dalam berbagai gerakan sosial, seperti Gerakan Indonesia Tanpa Asap, Gerakan Rakyat Lawan Tambang, dan Gerakan Tolak Reklamasi Teluk Jakarta.
Dandhy Laksono menikah dengan Irna Gustiawati, yang merupakan pemimpin redaksi Liputan6.com.
Karya-Karya Dandhy Dwi Laksono
Sejak mendirikan Watchdoc, Dandhy Laksono telah membuat banyak film dokumenter yang menggugah kesadaran publik tentang berbagai masalah yang terjadi di Indonesia.
Beberapa dokumenter garapan Dandhy Laksono, pertama ada Samin VS Semen yang dirilis pada 2015 lalu, yang mengisahkan tentang perjuangan masyarakat Samin dalam menentang pembangunan pabrik semen.
Karyanya yang sangat fenomenal yakni Sexy Killers (2019), mengungkapkan keterlibatan para elit politik dan bisnis dalam industri batu bara yang merusak lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Hingga karyanya yang paling terbaru yakni Dirty Vote (2024), mengungkap dugaan kecurangan yang terjadi dalam Pemilu 2024, seperti penyalahgunaan bansos, birokrasi, dan kekuasaan, serta peran media dan masyarakat sipil dalam mengawasi pemilu.
Selain film-film dokumenter, Dandhy Laksono juga telah menulis beberapa buku, seperti Indonesia for Sale (2009), yang membahas tentang praktik korupsi dan kolusi dalam pengelolaan sumber daya alam Indonesia, dan beberapa buku lainnya seperti Mematuhi Etika Menjaga Kebebasan.
Film Dirty Vote Ramai Dibahas di Media Sosial
Film Dirty Vote menjadi viral sebelum Pemilu 2024, yang dijadwalkan pada Rabu, 14 Februari 2024. Film yang dipublikasikan di masa tenang jelang tiga hari sebelum pemilu itu, banyak menarik perhatian publik karena menampilkan fakta-fakta dan data-data yang mengindikasikan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif dalam pemilu 2024.
Film ini dibuat oleh koalisi masyarakat sipil, yang menyoroti desain kecurangan pemilu dengan Dandhy Laksono sebagai sutradaranya. Film juga dibawakan oleh tiga ahli hukum tata negara, yakni Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari, yang menjelaskan setiap peristiwa secara rinci dan kritis.
Di dalam film tersebut juga mengkritik bagaimana Presiden Joko Widodo diduga mengerahkan lembaga negara untuk membantu pemenangan Prabowo-Gibran, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh koalisi partai pendukung pemerintah, Koalisi Indonesia Maju.
Film ini juga menyoroti bagaimana bansos, birokrasi, dan kekuasaan digunakan sebagai alat kampanye, serta bagaimana media dan masyarakat sipil berperan dalam mengawasi pemilu.
Alhasil, semenjak dirilis pada Minggu kemarin, film ini menuai berbagai tanggapan dari publik baik yang mendukung maupun yang menentangnya. Beberapa pihak mengapresiasi film ini sebagai bentuk kritik dan edukasi publik tentang pentingnya pemilu yang jujur dan adil. Namun, beberapa pihak juga menuduh film ini sebagai bentuk fitnah dan propaganda yang bertujuan untuk menggagalkan pemilu. Kalau menurutmu, bagaimana?