Sediksi.com – Setelah lebih dari lima bulan eskalasi konflik, para anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) berhasil mengesahkan resolusi gencatan senjata di Gaza pada Senin (25/3).
Perlu diketahui, gencatan senjata ini hanya sementara dan berlangsung selama bulan Ramadhan saja yang berarti hanya sampai dua minggu lagi. Tidak hanya itu, pengesahan gencatan senjata ini juga bersifat tidak mengikat.
Sehingga meskipun Israel tetap menyerang warga Gaza pada masa gencatan senjata ini, Israel tetap tidak dihukum untuk tindakan tersebut.
Kendati masa gencatan senjata sudah dimulai, penyerangan Israel terhadap warga Gaza khususnya di wilayah Rafah, bukannya berhenti. Hingga Rabu, justru meningkat dari biasanya. Laporan wartawan Al Jazeera, terjadi beberapa serangan udara yang menargetkan tiga rumah milik warga sipil dalam beberapa jam (27/3).
Kamp pengungsi Jabalia dan Rumah Sakit al-Shifa juga sama, masih menjadi target serangan militer besar-besaran Israel meskipun sudah memasuki masa gencatan senjata.
Hasil pemungutan suara terkait resolusi gencatan senjata di Gaza
DK PBB yang beranggotakan 15 negara, sebanyak 14 negara menyetujui resolusi gencatan senjata di Gaza. Tinggal Amerika Serikat (AS) saja yang memilih abstain, yang bisa diartikan tidak mendukung resolusi ini.
Adapun 14 negara anggota DK PBB yang menyetujui resolusi ini di antaranya anggota tetap seperti Tiongkok, Prancis, Inggris, dan Rusia. Kemudian 10 anggota tidak tetap seperti Algeria, Ekuador, Guyana, Jepang, Malta, Mozambique, Korea Selatan, Sierra Leone, Slovenia, dan Swiss.
Selama proses rapat untuk mewujudkan resolusi gencatan senjata di Gaza lebih dari lima bulan terakhir, AS selalu menggunakan hak vetonya sebagai anggota tetap untuk menolak resolusi ini yang menyebabkan semakin alotnya upaya mewujudkan gencatan senjata yang berkelanjutan di Gaza.
Alasan AS memilih abstain dalam sidang kali ini, disampaikan oleh para ahli sebagai bentuk frustasi Presiden AS Joe Biden terhadap Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu.
Pemerintahan Biden telah mendesak Israel untuk tidak melancarkan serangan besar-besaran di Rafah, memperingatkan bahwa invasi semacam itu akan merugikan warga sipil yang terjebak di kota tersebut dan semakin mengisolasi Israel di panggung dunia.
“Ini adalah perubahan. Namun, hal ini tidak menghentikan transfer senjata yang dilakukan. Dan pada akhirnya itulah yang paling penting,” kata Adam Shapiro, seorang analis politik.
Untuk itu, “hal ini juga perlu diikuti dengan langkah-langkah konkrit untuk menunjukkan betapa seriusnya pemerintah AS dalam mendukung gencatan senjata dan perdamaian abadi,” jawab Nancy Okeil, presiden Center for International Policy, lembaga think-tank AS.
Dia melanjutkan, “dan itu berarti mengambil langkah-langkah untuk menilai apakah AS harus terus mengirim senjata ke Israel.”
Apa yang terjadi jika resolusi gencatan senjata di Gaza tidak dipatuhi Israel?
Kecil kemungkinan DK PBB akan mengambil tindakan apapun terhadap Israel atau Hamas jika tidak menerapkan resolusi yang menuntut gencatan senjata selama bulan Ramadhan, yang akan berakhir dua minggu lagi. Termasuk soal pembebasan sandera yang masuk dalam salah satu poin gencatan senjata tersebut.
“Pada kenyataannya, sangat menyedihkan untuk mengakui bahwa banyak resolusi dewan gagal terlepas dari status hukumnya,” kata Richard Gowan, direktur International Crisis Group PBB. “Pihak-pihak yang bertikai di seluruh dunia hanya mengabaikan atau hanya berbasa-basi terhadap seruan gencatan senjata PBB sebelumnya.”
Penegakan hukum internasional sendiri juga memang lemah dan bersifat tidak mengikat.
Berdasarkan Piagam PBB, “anggota PBB setuju untuk menerima dan melaksanakan keputusan Dewan Keamanan.” Banyak negara anggota yang mengutip Pasal 25 ini sebagai penolakan terhadap pernyataan AS.
“Semua resolusi Dewan Keamanan adalah hukum internasional. Jadi, resolusi tersebut sama mengikatnya dengan hukum internasional,” kata wakil juru bicara PBB Farhan Haq pada hari Senin. “Pada akhirnya, implementasinya bergantung pada kemauan internasional.”
Juru bicara Thomas-Greenfield, Nate Evans, mengatakan kepada Reuters hari Selasa bahwa resolusi tersebut “tidak menciptakan kewajiban baru berdasarkan hukum internasional, seperti yang dilakukan dewan ketika menjatuhkan sanksi wajib” (26/3).
“Meskipun resolusi tersebut tidak memiliki ketentuan yang mengikat, semua resolusi Dewan Keamanan memiliki bobot yang besar dan harus dilaksanakan,” katanya.