Sediksi.com – Di sepanjang sejarah tinju profesional, tidak banyak partai yang mampu menarik perhatian publik sekuat ‘Thrilla in Manila’. Pertarungan legendaris ini menampilkan dua tokoh paling ikonik dalam sejarah tinju profesional, yaitu Muhammad Ali dan Joe Frazier.
Banyak yang menilai pertarungan tersebut bukan hanya sekedar partai tinju. Ia adalah sebuah pertarungan yang melampaui olahraga itu sendiri dan menjadi sebuah fenomena budaya.
Artikel ini akan mengulas Thrilla in Manila, mulai dari latar belakang peristiwa bersejarah tersebut, memberikan penjelasan singkat tentang pertandingan itu sendiri, serta bagaimana dampak dan warisannya, di dalam dan di luar dunia tinju.
Thrilla in Manilla
Latar Belakang Pertemuan
Thrilla in Manilla merupakan sebuah laga tinju yang mempertemukan Muhammad Ali dan Joe Frazier untuk ketiga serta terakhir kalinya. Event ini diselenggarakan pada 1 Oktober 1975 dan bertempat di Araneta Coliseum, Quezon City, Filipina. Khusus untuk laga ini, tempat tersebut diubah namanya menjadi “Philippine Coliseum”.
Sebelumnya, Ali dan Frazier tercatat sudah bertemu sebanyak 2 kali. Dari laga-laga tersebut, rivalitas sangat panas di antara keduanya tercipta.
Pertemuan pertama antara Ali dan Frazier terjadi pada 8 Maret 1971 di Madison Square Garden, New York, dalam laga bertajuk “Fight of the Century” (Pertarungan Abad Ini).
Pada partai yang berlangsung selama 15 ronde tersebut, Frazier memperoleh suara bulat dari juri dan dinyatakan sebagai pemenang lewat unanimous decision.
Setelahnya, rematch di antara kedua petinju diselenggarakan pada 28 Januari 1974 di lokasi yang sama. Kali ini, giliran Ali yang berhasil keluar sebagai pemenang lewat unanimous decision dalam laga yang berlangsung dalam 12 ronde tersebut.
Rivalitas di antara kedua petinju berjuluk The Greatest dan Smokin’ Joe ini semakin memanas. Sebelum laga rematch, keduanya sempat terlibat bentrok di studio ABC pada segmen interview bersama Howard Cosell.
Selain itu, partai Ali vs Frazier II juga diwarnai beberapa keputusan kontroversial dari wasit Tony Perez yang menguntungkan baik Ali maupun Frazier.
Mengapa Manila?
Dilihat dari riwayat pertemuan serta rivalitas sengit di antara keduanya, laga ketiga sepertinya memang tak terhindarkan lagi. Setelah 2 laga awal digelar di New York, Manila kemudian dipilih sebagai tempat berlangsungnya event bersejarah ini.
Dipilihnya ibukota Filipina tersebut, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh penguasa Filipina saat itu, Ferdinand Marcos. Ia disebut-sebut membayar uang dalam jumlah besar kepada promotor pertandingan, Don King, demi membawa laga tersebut ke negaranya.
Dikutip dari Sports Casting, hal ini bertujuan untuk membawa dampak positif bagi perekonomian Filipina serta dapat memperbaiki citra negara tersebut di mata dunia.
Selain itu, kehadiran event besar seperti ini juga diharapkan mampu mengalihkan perhatian publik dari situasi politik yang memanas serta kejatuhan ekonomi Filipina di bawah kediktatoran presiden Marcos.
Thrilla in Manila: Ali vs Frazier III
Partai Ali vs Frazier III kemudian dijadwalkan pada 1 Oktober 1975. Jelang laga, Muhammad Ali yang terkenal ‘bermulut besar’ menyebut Frazier dengan sebutan ‘Gorilla’. Sebutan ini kemudian menjadi dasar dari sebuah sajak yang dikeluarkan Ali.
“It will be a killa and a thrilla and a chilla when I get the Gorilla in Manila,” ucap Ali sambil meninju-ninju boneka Gorilla. Kalimat ini kemudian diadopsi dan digunakan sebagai tajuk laga dengan nama Thrilla in Manila.
Laga yang memperebutkan gelar juara kelas berat WBA, WBC, dan The Ring ini berakhir di ronde 14 setelah trainer Frazier, Eddie Futch, meminta wasit untuk menghentikan laga. Ia semakin khawatir dengan kondisi fisik petinjunya tersebut yang sangat kelelahan dan bahkan hampir buta.
Meskipun Smokin’ Joe menolak untuk menyerah, namun Futch tetap bersikeras untuk menghentikan laga brutal tersebut.
Ali kemudian keluar sebagai pemenang secara RTD (retired) atau corner retirement. Selain Frazier, Ali pun mengaku sangat kelelahan dalam laga tersebut.
“Frazier menyerah tepat sebelum saya melakukannya juga. Saya merasa sudah tidak sanggup bertarung lagi,” ucap Ali kepada penulis biografinya.
Laga Ali vs Frazier III sendiri digelar pada pukul 10 pagi waktu setempat demi mengakomodasi para penonton internasional. Hal ini sendiri banyak dikritik oleh masing-masing pihak.
Dokter tim Ali, Ferdie Pacheco, mengatakan bahwa pada jam 10 pagi, rasa lengket akibat keringat dari malam hari masih terbawa dan langsung dimasak oleh panasnya suhu Manila di pagi hari.
Sementara dari pihak Frazier, Denise Menz mengomentari suhu di dalam Coliseum Filipina.
“Panas sekali! Saya belum pernah merasakan panas seperti itu dalam hidup saya. Tidak ada embusan udara—tidak ada apa-apa. Bisakah anda membayangkan bagaimana rasanya berada di atas ring? Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa melakukannya.”
Frazier memperkirakan bahwa suhu ring berada di angka 49 derajat Celcius, yang diperparah oleh panas dari atap seng serta lampu ruangan. Di sisi lain, Ali mengaku bahwa berat badannya turun sekitar 5 Pon (2,3 kg) setelah partai tersebut.
Laga ini sendiri banyak dianggap sebagai salah satu yang paling brutal dalam sejarah tinju profesional. Selain karena kondisi tempat, kebugaran kedua petinju juga sudah tidak seperti sebelumnya, mengingat baik Ali (33 tahun) dan Frazier (31 tahun) sudah tidak muda lagi.
Dampak Thrilla in Manila
Pasca pertarungan Thrilla in Manila, baik Ali maupun Frazier, sama-sama mengalami penurunan karir di dunia tinju profesional. Thrilla in Manila nampaknya benar-benar menguras energi mereka, baik secara fisik maupun mental. Pada 1981, kedua petinju sama-sama memutuskan gantung sarung.
Thrilla in Manila juga memberi dampak pada lanskap penyiaran tayangan olahraga. HBO menjadi jaringan televisi pertama dalam sejarah yang mengirimkan sinyal secara terus menerus melalui satelit untuk menyiarkan Thrilla in Manila.
Peristiwa tersebut mengubah televisi kabel dari stasiun penyiaran sederhana menjadi penyedia program. HBO sendiri menyiarkan event tersebut pada 30 September 1975 karena perbedaan zona waktu dengan Manila.