Masa bodoh dengan Bhinneka Tunggal Ika. Pasalnya, sebagai perempuan Jawa di tanah Medan, saya hanya dipandang seperti remah-remah debu hasil proyek atasan yang tak kunjung...
Sebagai arek Mojokerto nyel, saya merasa onde-onde nasibnya cukup miris. Ia udah kayak identitas semu dari Kota Mojokerto yang hanya ada di Wikipedia. Lho, kok, bisa?
Saya heran jika ada orang yang bilang ingin kembali ke masa Hindia Belanda cuman karena vibes-nya yang nostalgic banget. Masak, iya, kalian rindu sama mantan kalian yang toksiknya nggak ketulungan itu, sih?
Bagaimana memahami keberpihakan media atau bias pemberitaan dalam meliput konflik pelanggaran hak asasi manusia (HAM)? Apakah prinsip netral jurnalistik relevan untuk diterapkan kala terjadi kesenjangan dalam konflik itu sendiri?
Kenapa, sih, sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” seolah-olah hanya melekat pada guru-guru di sekolah formal? Mengapa tak ada satupun pembahasan soal guru ngaji TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang menyisipkan julukan adiluhung itu?
Tidak sedikit orang tua yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren sebagai upaya lari dari tanggung jawab untuk mendidik anak menjadi generasi yang Islami.
Nah, karena saya sudah paham betul tabiat wakil-wakil rakyat kita yang lebih senang dicarikan solusi daripada menerima kritikan, maka izinkan saya memberikan sedikit masukan kepada pemerintah terkait opsi-opsi untuk menggantikan fungsi gedung DPR yang nantinya akan ditinggalkan.
Bapak pun sebenarnya bisa mengalami depresi begitu anaknya lahir. Namun, tak banyak yang sadar, peduli, atau menindaklanjutinya. Dibanding kampanye ibu sejahtera, kampanye bapak sejahtera jauh lebih jarang terdengar.
Ada hal-hal lain yang juga punya dampak signifikan pada sejarah kepahlawanan kota Surabaya. Hal-hal ini terkait dengan kehidupan masyarakat kota saat itu yang nampaknya masih sering luput dari pembahasan.