Yang ingin saya sampaikan dari pengalaman naik Trans Jogja adalah bus tidak melewati daerah tempat tinggal mahasiswa karena hanya fokus ke daerah wisata!
Kemenag perlu memahami urgensi dan fungsionalisasi pelaksanaan PPG Prajabatan. Bahwa sertifikasi PPG merupakan eskalator nilai yang memartabatkan kesalingan profesionalisme dan kesejahteraann.
Apakah memang kita harus sepenuhnya percaya pada pakar? Bagaimana jika ada kondisi di mana para pakar saling memberikan kritik karena tidak menghasilkan kesimpulan yang sama, bahkan saling berkontradiksi?
Kesulitan masyarakat menengah sering banget ketutup sama kondisi mereka sendiri karena dianggap masih mampu. Dari luar kelihatannya baik-baik saja. Padahal aslinya luntang-lantung untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Bertambahnya umur membuat kita bertumbuh, baik dari segi fisik maupun non-fisik. Namun, seiring menjadi dewasa, ada hal-hal yang terkikis. Beberapa hal yang hanya dimiliki saat masa kanak-kanak.
Menjadi mahasiswa sosiologi bukan hanya menanggung ‘beban malu’ karena jurusan ini dianggap yang paling disesali oleh lulusannya sendiri, tapi juga harus menanggung beban moral karena harus menghadapi tren pasar kerja yang lebih menganakemaskan lulusan teknik dan MIPA.
Masa bodoh dengan Bhinneka Tunggal Ika. Pasalnya, sebagai perempuan Jawa di tanah Medan, saya hanya dipandang seperti remah-remah debu hasil proyek atasan yang tak kunjung selesai.
Kami yang tergabung dalam program Kampus Mengajar digaungkan sebagai agen perubahan pendidikan. Akan tetapi, sematan tersebut justru bagi saya tak begitu membanggakan. Banyak realita di lapangan yang justru tak seindah gaungannya.
Sebagai arek Mojokerto nyel, saya merasa onde-onde nasibnya cukup miris. Ia udah kayak identitas semu dari Kota Mojokerto yang hanya ada di Wikipedia. Lho, kok, bisa?