Saya tertarik dengan kritik yang disodorkan oleh Alfian Bahri dalam tulisan “Malaka Project, Beasiswa Bukan Jalan Keluar Persoalan Pendidikan”.
Ada rasa gembira, haru, juga gregetan setelah menyimaknya. Kritikan tersebut tentu patut diapresiasi.
Beberapa pemikiran saya sebetulnya selaras dengan asumsi Alfian, misalnya terkait pendidikan untuk semua, problematika pendidikan yang tidak selesai hanya dengan beasiswa.
Namun, dalam beberapa hal Alfian cenderung berlebihan. Menggunakan berbagai generalisasi untuk memaksakan asumsinya. Sehingga terkesan seperti mahasiswa baru yang didoktrin oleh seniornya di jurit malam, menggebu-gebu.
Layaknya Rambo, Alfian menembak Malaka Project dengan semua pelurunya, tapi hampa.
Malaka Project Keberatan Nama
Sebetulnya problem inti Malaka Project ini menurut saya bukan di beasiswa atau pendidikannya. Tapi di namanya.
Mengadopsi “Malaka” dan merujuk “Madilog” tentu memiliki konsekuensi tersendiri. Khususnya bagi mereka yang mengidolakan gerakan dan pemikiran Tan Malaka.
Meskipun sudah disanggah oleh dek Cania Citta di salah satu konten Youtubenya, bahwa tidak semua konsep di Madilog akan diimplementasikan, tapi ya tetap saja nama Malaka sudah terlanjur diseret-seret.
Jadi, ini memicu mereka yang tahu dengan sepak terjang revolusionis seorang Tan Malaka, untuk bernostalgia pemikiran secara revolusioner juga.
Tidak salah jika Alfian akhirnya dia menantang konsep Malaka Project, menggunakan argumentasi para foundernya:merujuk Madilog.
Yakinlah, ini konsep yang sangat berat. Baru sampai materialisme saja kita mesti banyak mengulang dan mengolah. Apalagi Alfian sudah membawa-bawa dialektika hegelisme, yang mana memang disitir oleh Tan Malaka dalam Madilog.
Masalahnya, Alfian sudah terlanjut serius. Dia punya ekspektasi yang begitu tinggi. Sebab dalam benaknya, ketika membawa nama “Malaka” maka akan sebanding dengan kebesaran tokoh revolusioner tersebut.
Nyatanya asa Alfian runtuh tanpa sisa. Seperti diputus cinta hanya lewat pesan Whatsapp saja. Atau juga mirip leliku cinta Tan Malaka yang menyatakan cinta 4 kali, tapi ditolak 5 kali.
Kita bisa bayangkan, dalam kecamuk batin seperti itulah Alfian akhirnya mengutarakan uneg-unegnya di tulisan sediksi tempo hari itu. Ekspektasi setinggi asa diruntuhkan oleh program beasiswa.
Jadi saya malah berpikir jangan-jangan nama project ini lah sumbernya. Keberatan nama kalau kata orang tua zaman dulu.
Alternatifnya, mungkin memakai nama founder saja. misalnya Feri and Friends Project atau Van Deventer Project (yang memang konsepnya mirip). Yaa itu cuma usul.
Tesis, Sintetis, Antitesis
Saya mencatat, setidaknya ada tiga poin utama di paragraf awal yang sudah dipermasalahkan oleh Alfian.
Pertama, menurut Alfian, beasiswa tidak sesuai dengan semangat Tan Malaka yang revolusionis. Kedua, atas dasar itu, Alfian mempertanyakan sebenarnya program beasiswa itu sendiri bentuk dari tesis, antitesis, atau sintesis.
Dan yang ketiga, Alfian menantang Malaka Project kalau benar-benar ingin berdialektika, persoalan pendidikan ini harus diurai terlebih dahulu. Sebab, dalam wacana pendidikan yang panjang, beasiswa dinilai oleh Alfian hanya kumpulan tesis.
Di kolom komentar akun sediksi, ada yang membela Malaka Project dan mengkritik Alfian. Tapi Alfian menjawab santai, “sudah lihat webnya Malaka?” Jadilah saya kepo juga melihat web Malaka Project.
Lah ternyata pertanyaan dan kebingungan Alfian sudah dijawab di sana. Ada tesis, antitesis, dan sintesis yang sudah ditulis di web yang dikelola oleh tim Malaka Project disana.
Tanpa pendidikan yang terjangkau, Indonesia Emas 2045 tak mungkin bisa dicapai. Malaka Project sederhananya bertujuan menjembatani masalah tersebut. Kami ingin memberikan akses pendidikan seluas-luasnya secara gratis dalam bentuk konten edukasi dan program beasiswa. Kami yakin bahwa pendidikan berkualitas yang mudah diakses akan menciptakan “Masyarakat Baru”. Suatu masyarakat yang cerdas, kritis, empatik, dan mampu menggagas perubahan sosial bersama-sama.
Tesisnya: Tanpa pendidikan yang terjangkau, Indonesia Emas 2045 tak mungkin bisa dicapai.
Antitesis: Malaka Project sederhananya bertujuan menjembatani masalah tersebut. Kami ingin memberikan akses pendidikan seluas-luasnya secara gratis dalam bentuk konten edukasi dan program beasiswa.
Sintesis: Kami yakin bahwa pendidikan berkualitas yang mudah diakses akan menciptakan “Masyarakat Baru”. Suatu masyarakat yang cerdas, kritis, empatik, dan mampu menggagas perubahan sosial bersama-sama.
Tentu penjelasan yang seperti ini tidak akan diterima oleh Alfian, he wants more. Menurut Alfian, terlalu mensimplifikasi masalah pendidikan dengan hanya menghadirkan solusi beasiswa.
Tapi bagi Malaka Project, kemampuan mereka ya baru sebatas di sana, yakni konten edukasi dan beasiswa. Itupun juga dibatasi.
Beasiswa Menciptakan Elitis
Di akhir, Alfian menyamakan program beasiswa Malaka Project seperti “voucher promo”, dan menyebut beasiswa sebagai ruang kerja individualistik.
Serta mensinyalir beasiswa akan berpotensi menciptakan elitisme, pengingkaran-pengingkaran nilai, dan tujuan akhir dari pendidikan.
Jujur, saya merasa geli. Ya gimana yaa, kan mereka yang punya project, terserah mereka dong. Duit-duit mereka juga.
Lagi pula, merujuk Tan muda, sebetulnya tujuan pendidikan itu ya memang sederhana saja: mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.
Meskipun, Tan juga menggarisbawahi, “Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan,”
Tapi Alfian seperti melewatkan bagian pentingnya, bahkan Tan Malaka pun pernah menerima beasiswa. Dan bukan cuma Tan Malaka, tapi juga Bung Hatta, juga Sutan Syahrir.
Karena beasiswa itulah akhirnya baik Tan Malaka, Bung Hatta, dan Bung Syahrir memiliki pemikiran yang hebat dan melakukan perlawanan demi menemukan jati diri sebuah bangsa baru yang bernama: Indonesia.
Elitis itukah yang dimaksud oleh Alfian?
Sekolah adalah Ilusi
Kalau saya sendiri sebetulnya sudah punya tesis. Bagi saya, sekolah itu memang sejak awal adalah ilusi.
Mengubah orang tidak tahu menjadi berpendidikan itu sebentar dan terjangkau. Para kapitalis lah yang menciptakan sistem ilusi ini sehingga pendidikan menjadi panjang, senjang dan prosedural. Supaya tetap tercipta sekat antar tuan dan pelayan, agar dunia bisa berjalan seimbang.
Maka dari itu, sebaik-baiknya institusi pendidikan, mereka hanyalah pencetak calon-calon pekerja yang dibutuhkan oleh industri kapitalis. Yang membedakan hanya di kapasitas produksi.
Institusi yang unggul akan mencetak pekerja dengan nilai produksi kapital tinggi. Sedangkan institusi kelas bawah mencetak pekerja dan buruh-buruh kasar.
Institusi unggul juga merupakan ladang kapitalisasi terbesar para elit, untuk memeras harta dari masyarakat kelas menengah atas. Sedang institusi kelas bawah merupakan alat politisasi kaum elit untuk mendulang suara.
Jadi bukan beasiswa yang elitis, sejak awal desain model institusi pendidikan memang disiapkan oleh elit 1% untuk mendukung mesin kapital mereka tetap bekerja.
Hayoloh, mending kita diskusikan tesis diatas saja. Biar asik, penuh misteri dan konspirasi xixi.
Baca Juga: Drama Pencarian Osama bin Laden dan Vaksin