Sediksi.com – Akhir-akhir ini publik diramaikan dengan berita ribuan warga Indonesia pindah kewarganegaraan ke Singapura setiap tahunnya. Angka ini memang mengejutkan, tapi ini bukan fenomena baru.
Masalahnya, kebanyakan dari warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan tersebut tergolong dalam kalangan berpendidikan tinggi atau berkeahlian khusus. Jika hal ini terus terjadi, pemerintah Indonesia mesti khawatir jumlah sumber daya manusia berkualitas tinggi di Indonesia semakin berkurang.
Kekhawatiran inilah yang disebut sebagai fenomena brain drain.
Apa itu brain drain?
Brain drain adalah istilah yang merujuk pada fenomena orang-orang dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang tinggi bermigrasi ke negara lain untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih baik.
Istilah ini lebih mengedepankan pada posisi negara asal yang merasa dirugikan akibat fenomena ini.
Karena mereka kehilangan banyak warga negaranya yang dianggap cerdas dan berpotensi memberikan banyak kontribusi positif untuk negaranya.
Sehingga bukan hanya sumber daya manusia berkualitasnya yang berkurang, tapi juga negara asal merasakan “kekeringan otak”.
Umumnya, brain drain ini dimotivasi oleh kesempatan untuk menekuni bidangnya secara profesional yang hanya ada di negara tujuan. Motivasi utama lainnya yang lebih umum adalah potensi mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang lebih tinggi.
Fenomena brain drain sendiri sudah umum terjadi di berbagai negara, utamanya dari warga negara berkembang. Banyak orang berpendidikan tinggi yang berasal dari negara berkembang bermigrasi ke negara maju dengan tujuan ingin mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Sedangkan awal mula identifikasi fenomena ini tercatat pada awal 1960-an, ketika terjadi peningkatan gelombang migrasi orang berpendidikan tinggi dari negara berkembang ke negara-negara seperti Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa Barat.
Minimnya penelitian dan pendataan emigran
Emigrasi adalah istilah migrasi yang digunakan oleh negara asal. Sehingga emigran adalah orang yang pergi ke negeri lain untuk menetap.
Misalnya seorang warga berkewarganegaraan Indonesia bermigrasi ke Amerika Serikat. Negara Amerika Serikat akan menyebutnya sebagai imigran, sedangkan negara Indonesia menyebut orang tersebut sebagai emigran.
Negara asal kebanyakan tidak melakukan penelitian dan pendataan menyeluruh kepada emigran.
Meskipun beberapa negara tujuan/penerima sangat membantu karena sudah melakukannya atas inisiatif sendiri, kendala lainnya adalah terkadang definisi mereka tentang migrasi berbeda.
Tidak ada sistem statistik terpusat yang pasti terkait jumlah dan karakteristik emigran ini.
Minimnya data ini menyebabkan sulitnya memastikan pemetaan arus migrasi dan tingkat pendidikan emigran. Perkembangan penelitian terhadap isu ini juga cenderung bergerak ke depan, meskipun perlahan.
Walaupun datanya minim, dampak brain drain sangat terasa di berbagai belahan dunia, utamanya bagi negara-negara asal yang merasa dirugikan karena banyak warga negaranya yang berkualitas justru berkontribusi di negara lain yang lebih maju.
Baca Juga: Perbedaan Diaspora, Imigran, dan Migran
Penyebab brain drain
Penyebab brain drain bisa ditelusuri dari alasan orang-orang memilih menetap dan bekerja di luar negeri, yang di antaranya:
- Kurangnya kesempatan meritokrasi karena tingginya budaya nepotisme
- Rendahnya gaji
- Minimnya kesempatan menaikkan jenjang karier
- Alasan ketidakadilan sosial atau diskriminasi
- Tidak ada kebutuhan dari negara asal untuk keahlian yang dimiliki
Baca Juga: 7 Negara yang Menerima Imigran Indonesia
Negara-negara yang paling banyak menyumbang emigran
Data emigran yang paling baru dipublikasikan oleh Stasista adalah tahun 2015/2016. Data ini didapat dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
India (3,12 juta dari 1,3 miliar populasi)
Secara umum, India memang merupakan penyumbang emigran terbanyak. Tidak hanya itu, India juga merupakan negara tertinggi yang menderita brain drain di sektor kedokteran.
Berdasarkan data yang dihimpun Statista tahun 2021, sebanyak 74.455 dokter dari India bermigrasi ke negara-negara OECD.
Tiongkok (2,25 juta dari 1,3 miliar populasi)
India dan Tiongkok adalah dua negara dengan populasi terbanyak di dunia. Meski angka emigran dari kedua negara ini terbanyak, persentasenya bisa dibilang rendah dibandingkan total populasi mereka.
Filipina (1,89 juta dari 104 juta populasi)
Migrasi orang Filipina ke luar negeri memang sudah banyak dikenal. Banyak dari mereka bermigrasi ke Amerika Serikat dan bidang yang paling dominan digeluti adalah kesehatan, sebagai perawat.
Dibanding dengan total populasinya, jumlah emigran Filipina ini sangat tinggi. Bahkan untuk negara berkembang dengan pertumbuhan ekonomi yang terisolasi.
Britania Raya (1,75 juta dari 66 juta populasi)
Terjadi peningkatan migrasi orang berpendidikan tinggi atau berkeahlian khusus dari Britania Raya ke negara lain.
Fenomena ini terjadi pada sektor ilmuwan dan insinyur karena mereka tidak ingin kehilangan dana penelitian dari Uni Eropa (UE).
Jerman (1,47 juta dari 82 juta populasi)
Dari aspek kedokteran, Jerman berada di posisi keempat sebagai negara yang mengalami brain drain. Pada tahun 2021, jumlah dokter Jerman yang bermigrasi adalah 18.827.
Polandia (1,20 juta dari 38 juta populasi)
Dibanding India dan Jerman, Polandia menempati urutan kedelapan dengan jumlah 12.585.
Meksiko (1,14 juta dari 123 juta populasi)
Kebanyakan warga Meksiko lulusan pascasarjana bermigrasi ke Amerika Serikat antara tahun 1990–2015 karena minimnya kesempatan mengembangkan karier.
Rusia (1,06 juta dari 144 juta populasi)
Sektor dominan di Rusia yang menyebabkan brain drain di Rusia adalah teknologi industri karena banyak dari mereka merasa kesempatan untuk mengembangkan karier di sektor ini bisa dilakukan di luar negeri.
Baca Juga: Apa Itu AI Anxiety, dan 4 Cara Mengatasinya