Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus

Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus

Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Ada nuansa rasis yang direkayasakan dalam kehidupan masyarakat kolonial di Hindia Belanda agar tampak pembeda yang jelas antara orang Eropa dan orang Hindia Belanda.

Tepat 6 Agustus lalu, Presiden RI Joko Widodo secara resmi membuka peragaan busana bertajuk “Istana Berkebaya”. Tersebut merupakan rangkaian HUT RI ke-78. Di sana, Jokowi mengatakan bahwa kebaya melambangkan karakter bangsa Indonesia.

Pertimbangannya, karena busana itu mencerminkan keanggunan, kelemah-lembutan, kesopanan dan kebersahajaan dari masyarakat Indonesia.

Namun saya kurang sepakat dengan pernyataan tersebut.

Sejarah mencatat bahwa sarung-kebaya adalah jenis busana orang-orang Hindia Belanda (pribumi) yang tak layak dan pantas dikenakan oleh orang-orang Eropa.

Kecuali jika sedang sakit dan berada di dalam rumah, busana itu baru boleh digunakan.

Jadi, memang ada nuansa rasis yang direkayasakan dalam kehidupan masyarakat kolonial di Hindia Belanda agar tampak pembeda yang jelas antara orang Eropa dan orang Hindia Belanda.

Busana, bahasa yang menyambungkan beragam kepentingan

Rudolf Mrázek (2006) dalam bukunya yang berjudul Engineers of Happy Land, mencatat bahwa busana merupakan bagian dari proyek negara kolonial demi membangun sebuah koloni yang molek.

“Mooi Indie” (Hindia yang Molek) menjadi jargon atau slogan dari proyek kolonial yang membentang “von Sabang tot Merauke” (dari Sabang sampai Merauke). Itulah mengapa busana diperlakukan layaknya seperti sebuah bahasa yang dapat menyambungkan beragam kepentingan.

Kepentingan antara nyonya rumah dan para pembantu misalnya.

Dalam buku yang ditulis Madame Catenius (1908) berjudul Ons huis in Indie (Rumah Kami di Hindia) disebutkan bahwa, seorang nyonya rumah harus memberikan busana tersendiri bagi pribumi yang bekerja di rumahnya.

Busana khusus yang disebut sebagai “seragam” itu terdiri atas “celana panjang putih, kain atau sarung, rompi putih yang longgar (juga disebut kamisol)”. Serta, demi keseragaman, “kain penutup kepala dengan model yang sama”.

Demikian pula pembantu yang paling setia dan paling “asli” didandani sedemikian rupa. Sehingga tampak menjadi seorang baboe atau “si pengasuh” yang menjaga anak-anak bangsa Eropa.

Dalam “seragam” seperti itu, orang-orang pribumi sedang dibuat miniatur dari sebuah koloni yang tengah diinventarisasi dan disurvei untuk selanjutnya ditertibkan. Dengan kata lain, mereka diperlakukan sebagai boneka-boneka yang dibuat dan diberi busana untuk ditempatkan dan dipajang dalam suatu katalog oleh nyonya-nyonya Belanda di tahun 1893.

Melalui cara itulah, “orang kebanyakan”, “rakyat biasa”, atau “volk” dalam bahasa Belanda, praktis dibuat “telanjang” dan menghilang dari peta koloni saat datangnya busana-busana baru di Hindia Belanda.

Namun, hilangnya penduduk asli dalam busana modern yang diidentikkan sebagai kemajuan atau mode di koloni justru menghasilkan suatu kesadaran baru yang mengejutkan meski juga membingungkan.

Tillema (1870-1952) mampu merumuskan percampuran atau hibriditas kolonial itu dalam istilah yang dikenal dengan Kromoblanda. Kromo, “pribumi”, dan blanda, “Belanda”, menjadi penanda penting untuk menjalani hidup secara teratur dan sehat bersama-sama dalam sebuah koloni.

Termasuk dengan mendatangkan istri-istri impor untuk mengisi rumah-rumah Belanda yang sebelumnya dikuasai oleh para nyai yang menggiurkan dan mirip boneka.

Terhadap proyek kolonial modern itu, Mas Marco Kartodikromo tampil sebagai pemberontak yang mengacaukan, bahkan tak jarang meretakkan, apa saja yang telah dipoles dan diperhalus di koloni.

Lewat bahasanya, yang dianggap koyok Cino (seperti Cina), Mas Marco mampu melintasi garis-garis rasial misalnya, yang diciptakan oleh tatanan dari keharusan mengikuti Kromoblanda.

Tak heran, akibat kelihaiannya sebagai pengarang, wartawan, dan penulis Indonesia modern yang pertama, sebuah lembaga terhormat yang dikenal dengan Weltvaartscomissi (Komisi Kesejahteraan) Belanda dengan mudahnya dipermalukan dalam sebuah singkatan menjadi W.C.

Karena itulah, Mas Marco yang berulangkali ditangkap dan di penjara lantaran dianggap melakukan haatzaai (menyebar kebencian), tragisnya dibuang ke sebuah kamp interniran kolonial Belanda yang terkenal di Boven Digul, Irian Barat. Lebih tragis lagi, hidup Mas Marco pun harus berakhir di sana.

Orang modern semakin sulit menjadi telanjang

Tentu menjadi enak dan perlu untuk mengkaji ulang, sebagaimana diperingatkan Robert Musil, bahwa di zaman modern sesungguhnya orang modern semakin sulit untuk menjadi telanjang.

Dengan kata lain, busana yang merupakan bagian dari tanda-tanda kecemerlangan dan kepemilikan seseorang tidak mudah untuk dilepaskan begitu saja. Sebab dengan menjadi telanjang seseorang berarti tidak takut untuk meninggalkan, bahkan lenyap dari, masyarakat dan turun ke suatu tempat di dunia bawah-manusiawi.

Maka, bukankah dengan berbusana sama saja orang masih takut telanjang?

Pada tataran ini, peristiwa pertukaran busana adat yang diperagakan oleh para pemimpin negara kita dapat memberi peringatan betapa sulitnya untuk tampil tanpa mengenakan busana yang telah menjadi bagian dari budaya, termasuk kelas sosial, dalam hidup sehari-hari.

Apalagi dengan berani bertukar busana (dalam bahasa Jawa disebut “salin”), maka hal itu bukan semata-mata untuk mendandani diri agar tampak seperti aslinya seperti koleksi boneka buatan nyonya-nyonya Belanda di atas.

Tetapi dengan pertukaran itu justru ingin membuka peluang dan/atau tantangan untuk menjadi semakin terbuka serta toleran terhadap cara berbusana yang lain, termasuk dengan gagasan dan gerak-gerik yang ada di dalamnya.

Maka masuk akal jika pada pergantian tahun 1920-an dengan 1930-an Soekarno menetapkan peci sebagai simbol nasionalisme.

Hal itu dilakukan dalam rangka untuk membuat kontras antara sini, “kami”, dengan sana, “mereka”, agar menjadi lebih tajam dan lebih tajam bagi perjuangan untuk kemerdekaan.

Konsep itu menjadi media yang cukup ampuh untuk membuat mata orang-orang Indonesia agar melek politik.

Meski risikonya Soekarno dan beberapa pucuk pimpinan dalam gerakan nasionalisme awal ditangkap dan diasingkan, namun perjuangan untuk mengenakan busana yang dibuat di rumah sendiri, sebagaimana dikerjakan Gandhi dengan gerakan swadeshi-nya, tetap bertahan!

Masihkah busana mampu tampil lebih dahsyat daripada badan dan jiwa? Atau, hal itu justru hanya menjadi “mode” yang sekadar merapikan, bahkan tak jarang membungkam, sebagian besar orang, termasuk para pemimpin, di Indonesia dalam gaya hidup modern yang serba keruh, loyo, tanpa harapan dan membosankan?

Semoga bukan semata-mata karena takut telanjang, kebaya masih relevan untuk dikenakan, apalagi diperagakan di panggung catwalk fashion show, di negeri yang sudah lebih dari 75 tahun lalu diperjuangkan oleh para pemuda yang berambut gondrong dan setengah telanjang melalui sebagian besar pertempuran dan sebagian besar mati.

Editor: Mita Berliana
Penulis

Anicetus Windarto

Peneliti di Lembaga Studi Realino, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Bermukim di Solo bersama seorang istri dan dua orang anak remaja belia.
Opini Terkait
Anomali Bahasa dan Hiperkoreksi Orang Sunda
Yang Luput Dari Analisis Anak Muda Gengsi Jadi Petani
Masyarakat Menengah: Hidup Segan, Mati Banyak Tanggungan
Cuti 40 Hari Untuk Suami: Solusi atau Sensasi?

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel