Musik Sebagai Media Perlawanan di Kalangan Gen Z, Masihkah Relevan?

Musik Sebagai Media Perlawanan di Kalangan Gen Z, Masihkah Relevan?

Musik Sebagai Media Perlawanan di Kalangan Gen Z
Ilustrasi oleh Ahmad Yani Ali

Anak-anak muda yang tak terlalu cocok dengan gaya perlawanan ala-ala orator, butuh media komunikasi yang berbeda, dan itu ada di musik.

Pemikiran gua ya! Lu punya duit, lu punya kuasa. Tapi buat gue enggak nyet. Kekuasaan bisa dilawan dengan musik.

Emang iya bang?

Salah satu band yang membawa musik perlawanan adalah Rage Against The Machine  atau RATM. Band rock yang hadir di dekade 90-an. Dengan musik dan lirik-lirik protes dan mampu membakar semangat generasi muda Amerika Serikat.

Amerika yang saat itu sedang melakukan invasi di beberapa negara Timur Tengah mendapatkan perlawanan dari warganya sendiri. Di sinilah Rage Against The Machine datang dengan suara perlawanan yang lebih lugas, lebih keras, dan tentunya menohok.

Musik perlawanan “teman” kegelisahan

Hal ini terbukti efektif. Setiap panggung Rage Against The Machine, selalu dipenuhi penonton—didominasi anak-anak muda—yang sepakat dengan Rage Against The Machine. Seperti semangat anti perang, tentang perlawanan terhadap otoritarian sayap kanan, dan tentang kemanusiaan. Semua orang kompak bernyanyi, menyarakan perlawanan atas segala ketidakadilan.

Tak hanya di panggung gelombang protes dan perlawanan berlanjut ke jalanan. Di mana anak-anak muda progresif ikut turun untuk memperjuangkan hak-hak mereka, termasuk urusan kemanusiaan. Rage Against The Machine memegang pengaruh penting saat itu. Sebab seakan menjadi “teman” atas kegelisahan anak-anak muda Amerika Serikat saat itu.

Hadirnya Rage Against The Machine membuktikan bahwa musik bisa menjadi media yang menciptakan sebuah perubahan sosial. Musik mampu menjadi media komunikasi untuk melakukan perlawanan. Lebih luas lagi, Rage Against The Machine melalui musik dan lirik-liriknya mampu menjadi pemicu api-api perlawanan akan ketidakadilan di kalangan anak-anak muda saat itu.

Yang muda yang melawan

Meski begitu, Rage Against The Machine bukan yang pertama melakukannya. Sejak dekade 70-an, sudah banyak musisi atau band dari genre hardcore, punk, metal, hingga hip-hop yang kerap menjadikan musiknya sebagai media komunikasi protes atau perlawanan. Target pasar mereka pun sama, anak-anak muda yang mungkin tak terlalu cocok dengan gaya perlawanan ala-ala orator. Anak-anak muda butuh media komunikasi yang berbeda, dan itu ada di musik.

Selain Rage Against The Machine, gerombolan musisi hardcore punk seperti Sex Pistols, Dead Kennedys, hingga Green Day berhasil menjadikan musik sebagai media untuk menyarakan perlawanan. Tak hanya mereka, musisi hip-hop seperti N.W.A juga berada di barisan yang sama, yang menyuarakan perlawanan melalui musik. Suara perlawanan melalui musik ini juga sudah seperti menjadi estafet yang bertahan dari dekade 70-an hingga sekarang.

Tak hanya di dunia barat saja, di Indonesia, terutama ketika rezim Orde Baru berkuasa. Shark Move menginisiasinya di dekade 70-an. Diteruskan oleh Iwan Fals pada dekade 80 hingga 90-an, lalu ada juga Slank, dan dipertegas kembali oleh musisi hip-hop Homicide di akhir dekade 90-an hingga 2000-an. Target pasar mereka pun sama, anak-anak muda.

Redupnya api musik perlawanan di kalangan gen Z

Ketika rezim otoritarian orde baru, musik masih cukup efektif sebagai media komunikasi untuk perlawanan. Bahkan anak-anak muda yang mungkin tidak mengalami bagaimana kejamnya rezim orde baru tetap mengikuti dan menikmati musik-musik yang bernuansa perlawanan. Efek Rumah Kaca sudah membuktikannya.

Namun, musik sebagai media komunikasi untuk menyuarakan perlawanan mulai menemui halangannya di kalangan gen Z, yaitu anak-anak yang lahir di tahun sekitar 1997 hingga 2012. Relevansi menjadi masalahnya.

Pertanyaan mengenai apakah musik sebagai media komunikasi untuk menyarakan perlawanan masih relevan di kalangan gen z mulai menyeruak.

Perbedaan situasi dan perkembangan musik serta media komunikasi menjadi penyebabnya. Saat ini, gen Z seperti sudah tak tertarik dengan musik-musik yang berbau perlawanan. Bahkan gen Z nampaknya tidak tertarik dengan musik-musik seperti rock, yang selama ini erat sekali dengan protes dan perlawanan.

Di era pasca reformasi, musik sebagai media komunikasi perlawanan sudah seperti tak akurat lagi. Ketika otoritarian sudah hilang, maka musik sebagai media komunikasi perlawanan, pasti juga perlahan redup apinya.

Redup bukan berarti mati

Namun, redup bukan berarti mati. Musik sebagai media komunikasi protes dan perlawanan masih tetap nyala, meski apinya tak setinggi dulu.

Misalnya Efek Rumah Kaca dan band-band indie lainnya yang masih memiliki pendengar setia. Atau band-band di setiap daerah yang menyalakan api, mengkritisi apa yang terjadi di sekitarnya. Seperti Limbo, unit hardcore asal Kota Batu, menyuarakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat bersenjata, ketidakadilan dan relasi kuasa yang terjadi di tengah masyarakat.

Fenomena yang ada di lingkup kecil seakan menegaskan bahwa musik sebagai media komunikasi perlawanan masih cukup relevan, termasuk bagi gen Z. Meski perlawanan punya cara dan gaya, meski pendengarnya tidak mengerti musik perlawanan, setidaknya lirik-liriknya bertengger di telinga mereka.

Editor: Mita Berliana
Penulis

Jeremy Alan Patrick

Mahasiswa Bina Nusantara (Binus) Malang, jurusan ilmu komunikasi. Domisili Kota Batu, Jawa Timur. Saya aktif juga sebagai personel band Devil Despize (bassist)
Opini Terkait

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-opini-retargeting-pixel