Sudah bukan rahasia lagi bagi kalangan mahasiswa sosiologi bahwa mengambil jurusan sosiologi adalah awal mula ditempa oleh fakta sosial yang mengerikan. Dan hal ini juga nampaknya berlaku bagi para dosen yang mengajar sosiologi. Kenapa? Mari saya jelaskan alasannya satu-satu.
Menjadi mahasiswa sosiologi bukan hanya menanggung ‘beban malu’ karena jurusan ini dianggap yang paling disesali oleh lulusannya sendiri, tapi juga harus menanggung beban moral karena harus menghadapi tren pasar kerja yang lebih menganakemaskan lulusan teknik dan MIPA.
Belum lagi fakta bahwa sosiologi masih terdengar kurang keren dibanding rumpun ilmu sosial lain seperti jurusan psikologi atau ekonomi.
Meskipun sama-sama harus melewati screening berkas siap bekerja di bawah tekanan dan pertanyaan maut dari HRD mau gaji berapa, di mata banyak masyarakat, lulusan sosiologi masih dianggap kurang keren.
Bahkan jika lulusannya berhasil melakukan tindakan heroik beyond the call of duty dengan berbudidaya maggot dan wedus gibas, pencapaian adiluhung ini justru dianggap kejatuhan daripada sebuah prestasi yang patut dibanggakan.
Bingung kalau Ditanya Prospek Kerja
Sebagai alumni jurusan sosiologi, saya mengakui apa yang diamini oleh banyak mahasiswa sosiologi dan para alumninya bahwa mental kita akan benar-benar diuji ketika harus menjawab pertanyaan musiman “habis lulus kuliah, kamu mau jadi apa?”
Kiranya pertanyaan ini akan sangat sulit terjawab bagi mahasiswa sosiologi yang gamang saat menghadapi realita prospek kerja lulusan sosiologi. Apalagi, bagi mereka yang sejak awal kuliah sudah merasa salah jurusan.
Saya sendiri contohnya. Saat menjadi mahasiswa semester akhir, saya diberi kesempatan untuk menyampaikan materi sosiologi kepada para mahasiswa baru di sebuah acara diskusi di kampus.
Alih-alih menyampaikan tiga paradigma ganda sosiologi dengan segala kompleksitas teorinya, saya lebih memilih curhat tentang apa yang saya alami pada saat menjadi mahasiswa baru seperti mereka.
Dengan lantang, gagah, dan berani saya bertanya, “Rek, nang kene sopo sing bingung sak jane sosiologi iku ilmu opo? Terus mari lulus kuliah awakmu kabeh ape do kerjo opo?” (rek, sebenarnya di sini siapa yang bingung sebenarnya sosiologi itu ilmu apa, terus habis lulus kuliah, kalian semua mau kerja apa?)
Hampir serentak mereka menjawab “lho, bang… kok, kita sama.”
Setelah pengakuan bersama-sama, acara diskusi tersebut berubah menjadi acara ramah tamah yang tingkat stress release-nya setara dengan gencatan senjata di perang Rusia-Ukraina.
Agak memilukan memang. Tapi, pada saat itu, kita bersepakat mengakui tragedi kehidupan menjadi mahasiswa sosiologi yang mempunya nilai rendah di mata masyarakat itu lebih ksatria dan melegakan daripada menyalahkan keadaan atas apa yang sudah kita pilih.
Apalagi, sampai menyalahkan emak dan bapak di desa karena tidak paham penjelasan kita tentang teori-teori rumit sosiologi yang sudah dipelajari.
Baca Juga: Pinjol ini Membunuhku: Cerita dari ITB
Lalu, Jurusan Apa yang Harus Diambil oleh Mereka yang Mau Kuliah?
Fakta mengerikan menjadi mahasiswa sosiologi di negeri konoha tercinta memang begitu adanya. Tapi, jika bangsa ini masih menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, anggapan kebanyakan orang tentang keberhasilan lulusan universitas yang hanya dinilai berdasarkan jenis profesi tertentu adalah fakta mengerikan yang sebenarnya.
Inti dari ilmu pengetahuan, baik itu natural science dan social science, bukankah sama saja? Yakni sama-sama menggunakan metode yang teruji secara ilmiah dengan prosedur ketat dan etika penelitian, memiliki aspek dinamis dan kebaharuan, serta mempunyai asas kebermanfaatan untuk kemanusiaan dan kemajuan sebuah peradaban.
Hanya saja, kemajuan teknologi sebagai karya dari science modern tidak melulu muncul dari penelitian akademis. Ia juga muncul dari penelitian industri modern kapitalistik yang lebih mementingkan madecu (masa depan cuan) ketimbang etika ilmu pengetahuan yang rasanya terlalu abstrak dan utopis jika diukur dengan nilai produktivitas barang dan jasa.
Baca Juga: Ketika Jurnal Ilmiah Menjadi Ladang Bisnis
Saya tidak bilang kapitalisme itu buruk, lho. Toh, manfaatnya sudah banyak kita rasakan juga. Salah satu manfaat kapitalisme yang sering kita rasakan adalah adanya kompetisi bebas yang menuntut kita untuk terus bersaing meningkatkan kemampuan dalam hal inovasi produk, sehingga manusia akan selalu produktif.
Persaingan tenaga kerja untuk masuk dunia industri juga merupakan manfaat kapitalisme yang patut kita syukuri. Karena dengan begitu, para pelajar dan fresh graduate sudah sejak dini dituntut untuk meningkatkan skill dan pengalaman mereka agar bisa bekerja di perusahaan impian.
Bagaimana mungkin mereka tidak bersaing. Bayangkan saja, mereka nantinya akan menghadapi persyaratan kerja yang menuntut siap bekerja di bawah tekanan, usia maksimal 23 tahun dengan pengalaman kerja minimal 5 tahun, bisa menguasai minimal 3 bahasa asing, belum menikah, berpenampilan menarik, bisa menguasai empat elemen tanah, api, air dan angin, menghidupkan orang mati, serta bisa membelah lautan.
Jadi, saya tegaskan lagi. Saya tidak bilang kapitalisme itu buruk karena persyaratan kerja yang hampir mendekati spek nabi itu sepertinya hanya ada di negeri ini, yang berarti ada dua kemungkinan.
Pertama, ada yang tidak beres dengan pemahaman kita tentang kapitalisme atau apa pun yang menyangkut tentang sumber daya manusia dan pendayagunaannya.
Kedua, memang dari awal sistem pendidikan kita sudah salah karena menganggap output pendidikan beserta tenaga pengajar merupakan barang dagangan yang sukses atau tidaknya disamakan dengan rating bintang Shopee, Lazada, Tokopedia, atau sejenisnya.
Baca Juga: Dua Syarat Kerja Paling Jancuk
Masih Perlukah Kita Mempelajari Sosiologi?
Kembali ke laptop. Jadi, pilihan untuk mengambil jurusan saat kuliah adalah hak setiap orang yang harus dihormati. Syukur-syukur kita bisa memilih jurusan sesuai bakat dan minat kita.
Lalu, jika sampai ada fenomena terkait jurusan atau mata pelajaran tertentu yang dianggap tidak lebih penting dari jurusan atau mata pelajaran yang lain, berarti ada yang tidak beres dengan cara pandang dan praktik pendidikan kita.
Ia tidak baru muncul sejak kita memilih jurusan kuliah, tapi sejak kita mengajarkan kepada anak usia dini tentang apa itu ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan ialah menuntun peserta didik agar dapat tumbuh sebagai manusia dan anggota masyarakat yang mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Jika kita mengacu pada hal ini, maka yang perlu dihapus bukanlah jurusan yang dianggap tidak penting di mata masyarakat, melainkan sistem pendidikan dan pandangan mereka tentang ilmu pengetahuaan dan pendayagunaannya yang harus diperbaiki.
Penemuan dan inovasi di bidang engineering dan applied natural science seperti “pengembangan robotics berbasis AI” atau “nanoteknologi untuk energi berkelanjutan” beserta terbitan jurnal berlabel sinta 2 dan scopus di bidang tersebut seolah-olah menjadi satu-satunya tujuan pendidikan saat ini.
Padahal, penelitian-penelitian sosiologi seperti” kesetaraan gender berbasis arisan emak-emak di desa”, atau bahkan “angon wedus sebagai upaya penguatan kurikulum merdeka” juga merupakan pendayagunaan ilmu pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi masyarakat.
Sosiologi memegang peranan penting untuk mengurai masalah-masalah kesenjagan sosial akibat kemajuan teknologi yang jika tidak dibarengi dengan analisis sosiologis secara kualitatif.
Kemajuan teknologi seperti itu hanya akan mendikte sistem pendidikan kita untuk tujuan kapitalisme semata. Makanya, jangan heran jika banyak dijumpai sistem perbudakan guru dan profil lulusan yang dianggap sukses hanya jika mampu menghasilkan uang banyak.
Ini juga menyebabkan jurusan sosiologi dianggap sebagai jurusan suram bagi orang-orang di negeri ini. Padahal, ia punya peran vital untuk menyelamatkan pendidikan kita yang semakin kapitalistik. Oleh karena itu, saya merasa seperti ninja yang melindungi dari balik bayangan.
Sebab, lewat sosiologi-lah kita bisa mengurai kompleksitas masyarakat di era kemajuan teknologi dan science modern dengan segala permasalahannya serta membantu dan berkolaborasi dengan pihak-pihak lain untuk menuntun manusia menuju peradaban adiluhungnya.
Kiranya seperti itu yang ingin saya sampaikan tentang jurusan yang sering dianggap suram ini, hehe.