Viral Bocah di Papua Tukar Setandan Pisang dengan Mie Instan, Polemik Gastro Kolonialisme

Viral Bocah di Papua Tukar Setandan Pisang dengan Mie Instan, Polemik Gastro Kolonialisme

Gastro kolonialisme di Papua

DAFTAR ISI

Sediksi.com – Baru-baru ini viral sebuah video yang diunggah di TikTok @_wike.afrilia_. Dalam video yang diunggahnya itu, menunjukkan seorang anak bernama Rian membawa setandan pisang.

Ia datang di rumah seorang wanita yang diketahui sebagai nakes untuk bertukar dengan mie instan.

“Adek Rian, dia datang bawa pisang karena ingin makan Supermi,” tulisnya dalam video yang diunggah pada Selasa, (1/8) lalu.

Sambil malu-malu, Rian menyebut ingin mengganti setandan pisangnya dengan supermi. Lalu, wanita dalam video itu memberikan satu kantong plastik berisi mie instan dan telur. Tak lupa, ia juga memberikan beberapa jajanan.

Viral di Twitter

Video yang sudah ditonton 1,5 juta itu ternyata juga sempat viral di Twitter dan ditanggapi sejumlah warganet.

Sejumlah warganet lalu berpolemik menyangkut pautkan video menukar setandan pisang dengan mie ini bagian dari “gastro kolonialisme”. Sebagian yang lain menyebut, bahwa mereka hanya ingin sekedar makan mie instan saja.

Sebelum membahas tentang gastro kolonialisme, aktivitas menukar barang dengan barang atau disebut barter ini adalah hal yang masih umum di pedalaman Papua.

Berbeda dengan masyarakat di Jawa, yang sangat jarang melakukan barter atau mungkin sudah tidak kita temukan lagi. Sebab, perkembangan teknologi dan jumlah penduduk di Jawa yang tinggi, membuat sistem pembayaran perlahan beralih dari uang tunai menggunakan uang elektronik atau QRIS.

Isu Gastro Kolonialisme Bukan Hal Baru di Papua

Jika melihat berbagai video yang diunggah oleh @_wike.afrilia_ di TikToknya, banyak sekali warga yang menukar hasil kebun seperti kangkung, cabe, pisang dengan mie instan atau beberapa pangan lain seperti beras dan telur.

Banyak warganet pun yang ikut berkomentar di video tersebut, banyak komentar bernada apresiasi atas perbuatan nakes tersebut.

Menariknya, salah satu komentar dari warganet yang menyebut bahwa mie menjadi barang mewah di Papua.

“Supermie jadi barang mewah di tengah kekayaan alam yang melimpah,” komentar @eddyhape.

Pernyataan dari warganet tersebut sejatinya tak bisa kita tampik, mengingat isu ini rupanya sudah ada beberapa tahun silam.

Pertanyaannya, mengapa warga Papua tersebut rela menukar hasil kebun yang bergizi hanya demi mie instan? Selain itu, meski Papua menjadi daerah lumbung pangan, beras masih saja menjadi komoditas yang langka dan mahal di sana?

Mengenal Gastro Kolonialisme

Istilah gastro kolonialisme ini mudahnya dikenal dengan penjajahan pangan atau kolonialisme pangan.

Tindakan ini dilakukan oleh negara-negara kolonial dalam memaksakan makanan dan budaya kuliner untuk diadopsi pada negara-negara yang pernah dijajah.

Istilah itu sendiri pertama kali dikenalkan oleh Craig Santos Perez, seorang aktivis dan peneliti dari Guam. Ia memakai kata gastro kolonialisme untuk menggambarkan ketergantungan warga Hawai dalam impor pangan yang diproduksi oleh perusahaan multinasional menggunakan bahan-bahan berkualitas rendah, sehingga membuat berkurangnya gizi masyarakat.

Gastro kolonialisme ini dapat mempengaruhi kesehatan dan kebiasaan pangan. Sebab, biasanya perubahan makanan dan budaya kuliner itu berubah menjadi mengonsumsi makanan yang kurang sehat seperti makanan cepat saji.

Meski begitu, nampaknya di pedalaman Papua, mengonsumsi makanan cepat saji seperti mie instan menjadi makanan mewah. Tak heran, makanan ini memang banyak disukai anak-anak.

Mie instan menjadi jenis makanan yang mahal sebab harga satu bungkus mie instan ini seharga Rp 25 ribu. Harganya bahkan berkali lipat jika dibanding di Jawa yang hanya dijual Rp 3 ribuan saja.

Sementara, penjajahan pangan di Papua ini sudah terjadi semenjak Belanda menjajah Indonesia. Dilansir dari Rainforest Journalism Fund, Belanda membabat hutan Papua dengan menjadikannya lahan pertanian, tetapi bukan untuk rakyat Papua.

Lahan persawahan dan perusahaan padi didirikan lebih untuk memenuhi kebutuhan beras Belanda sendiri, terutama saat terjadinya perang Pasifik.

Di masa yang lebih modern, mie instan dan sejumlah makanan lain pun mulai masuk ke Papua, seiring meningkatnya jumlah pendatang. Begitu juga dengan lahan hutan yang semakin menipis karena program pemerintah yang menjadikan Papua sebagai lumbung padi sejak tahun 2010, saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dikutip dari Kompas, kebijakan ini juga berkaitan dengan program pangan nasional yang mendudukkan padi dan beras sebagai bagian dari kesejahteraan. Kini, proyek raksasa food estate di Papua juga kerap dibanggakan sebagai pencapaian.

Hidup masyarakat Papua mulai mengalami perubahan. Sistem pertanian dikuasai oleh perusahaan dan masyarakat pendatang yang membawa produk kemasan seperti mie instan, mau tak mau membuat masyarakatnya bergantung pada produk pangan tersebut.

Meski, produk mie instan yang dijual ini juga produk dalam negeri, nampaknya sejumlah warganet juga mengatakan ketidak setujuannya jika menyebut apa yang terjadi di Papua sebagai bentuk “penjajahan pangan.” Kalau menurut kalian bagaimana?

Kuesioner Berhadiah!

Dapatkan Saldo e-Wallet dengan total Rp 250.000 untuk 10 orang beruntung.​

Sediksi.com bekerja sama dengan tim peneliti dari Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada sedang menyelenggarakan penelitian mengenai aktivitas bermedia sosial anak muda. 

Jika Anda merupakan Warga Negara Indonesia berusia 18 s/d 35 tahun, kami mohon kesediaan Anda untuk mengisi kuesioner yang Anda akan temukan dengan menekan tombol berikut

Sediksi x Magister Psikologi UGM

notix-artikel-retargeting-pixel