Sediksi.com – Layangan jadi salah satu permainan tradisional yang sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu di berbagai belahan dunia. Kamu penasaran gak sih asal-usul atau sejarah dari layangan ini?
Layangan merupakan lembaran bahan tipis yang diberi rangka dan diterbangkan ke udara dengan menggunakan tali yang terhubung ke daratan atau pengendali. Layangan memanfaatkan kekuatan hembusan angin sebagai alat pengangkatnya.
Tidak hanya digunakan sebagai alat permainan, tetapi layang-layang atau layangan ini juga memiliki fungsi ritual, seni, ilmiah, dan bahkan militer.
Untuk lebih lanjutnya, mari mengulas mengenai sejarah layangan dan sedikit ulasan tentang layangan Kaghati Kolope, yang konon merupakan layangan tertua di dunia. Simak sampai selesai!
Sejarah Layangan
Untuk mengetahui sejarah layangan, kira-kira sangat berbeda dengan menelusuri sejarah dari benda-benda lain yang biasanya bisa bertahan sangat lama.
Lalu kira-kira berapa umur layangan? Jelasnya tidak ada yang tau, layang-layang sangat rapuh untuk bertahan tidak terurai untuk ditemukan dalam penggalian arkeologi.
Catatan tertulis pertama yang menyebutkan tentang layangan berasal dari Tiongkok sekitar 200 SM. Namun menurut legenda, layangan pertama kali dibuat oleh seorang filsuf bernama Mozi yang menggunakan kain sutra dan bambu untuk membuat layangan berbentuk burung.
Akan tetapi ada beberapa perdebatan tentang apakah referensi ini dianggap layang-layang atau bukan.
Beberapa sumber tertulis paling awal tentang layang-layang tidak membawa kita ke layang-layang prasejarah. Sejarah lisan, migrasi manusia di masa prasejarah, dan arkeologi bisa menelurusi lebih jauh.
Catatan terbaru justru menunjukkan bahwa layangan tertua berasal dari Indonesia. Hal ini dibuktikan dari ditemukannya lukisan tangan manusia prasejarah yang mirip dengan layan-layang di gua kuno Sulawesi. Diperkirakan usia lukisan tangan di dinding gua itu berumur 4 ribu tahun yang lalu.
Para sejarawan menelusuri asal-usul layang-layang dengan cara menggali tiap kisah lokal, cerita mitos, cerita rakyat hingga bukti-bukti fisik seperti lukisan yang berkaitan tentang layangan.
Jika memulai dengan yang paling awal, kiranya harus mulai dengan sebuah cerita masyarakat yang sangat tua yang menyinggung soal layang-layang ini
Hal itu muncul dalam mitos dan legenda di Asia dan Polinesia. Mengutip dari Library of Congress, salah satu cara folklorist menelurusi cerita lama adalah dengan melihat motif-motif yang menjadi dasar plot, atau bagian-bagian dari plot.
Motif cerita layang-layang kiranya seperti ini:
“Dahulu kala seorang pria ingin terbang ke langit dan bintang-bintang. Ia begitu bertekad sehingga membuat layang-layang yang cukup besar untuk membawanya ke langit. Ia terbang tinggi sehingga menjadi dewa yang abadi.”
Jadi dari cerita rakyat itu, ada dewa layang-layang di antara penduduk asli Selandia Baru, Hawaii dan pulau lain daerah Polinesia.
Dalam cerita versi Maori, dewa itu bisa menjadi layang-layang. Dalam mitologi Hawaii, dewa Maui pernah menerbangkan layang-layang. Selain cerita itu, layangan dianggap membawa serta aspek kesucian dalam budaya di Asia dan Polinesia.
Dianggap bahwa layang-layang menyediakan hubungan antara manusia dengan dewa. Layangan itu diterbangkan untuk menghormati dewa di Polinesia, sedangkan di Selandia Baru digunakan untuk ramalan.
Peradaban yang juga punya catatan tentang layangan
Di Tiongkok dan Jepang layang-layang dipercaya sebagai untuk menakuti roh jahat dan menarik roh baik. Beberapa diantaranya layang-layang Tiongkok memiliki peluit dan cakram berputar yang membantu menakut-nakuti chi buruk.
Dari yang dipercayai, ada hari baik dan buruk untuk menerbangkan layang-layang di Asia. Layang-layang yang lepas dan terbang tidak boleh disentuh saat mendarat di tanah, karena hal itu bisa membawa kesialan.
Layangan kemudian berkembang menjadi alat komunikasi, pengukuran, dan pengintaian di Tiongkok kuno. Salah satu contoh terkenal adalah ketika Jenderal Han Xin menggunakan layangan untuk mengukur jarak antara benteng musuh dan menentukan strategi penyerangan.
Layangan juga ditemukan di berbagai peradaban lain, seperti India, Yunani, Mesir, Persia, Jepang, Korea, Melayu, dan Polinesia. Layangan memiliki berbagai bentuk, ukuran, warna, dan motif yang mencerminkan budaya dan kepercayaan masing-masing daerah.
Layangan juga memiliki berbagai fungsi, seperti alat upacara keagamaan, hiburan rakyat, seni rupa, penelitian cuaca, eksperimen listrik, fotografi udara, dan bahkan perang.
Layangan juga digunakan oleh Wright bersaudara untuk menguji desain pesawat terbang pertama mereka.
Kaghati Kolope dari Sulawesi Tenggara diklaim jadi yang tertua
Layangan Kaghati Kolope adalah salah satu jenis layangan tradisional tertua di dunia yang berasal dari Pulau Muna, Sulawesi Tenggara.
Nama Kaghati Kolope berasal dari bahasa Muna yang berarti layang-layang daun di hutan. Hal ini karena layang-layang ini terbuat dari bahan-bahan alami yang tumbuh di pulau tersebut, seperti daun kolope (umbi hutan) untuk layar induk, kulit bambu untuk rangka, serat nanas hutan untuk tali dan jahitan.
Layang-layang Kaghati Kolope dipercaya sudah ada sejak 4.000 tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan adanya lukisan tangan manusia yang menggambarkan layang-layang di dalam Gua Sugi Patani, Desa Liangkobori.
Lukisan ini merupakan situs prasejarah tertua di Indonesia yang menunjukkan adanya permainan layang-layang di masa lalu.
Layang-layang Kaghati Kolope memiliki bentuk oval dengan panjang sekitar 170 cm dan lebar sekitar 80 cm. Layang-layang ini bisa terbang selama berhari-hari dengan ketinggian mencapai 1000 meter. Layang-layang ini juga memiliki suara khas yang disebut sendaringan yang dihasilkan oleh gesekan antara tali dan kulit bambu.
Itulah dia ulasan mengenai sejarah layangan, dan sedikit informasi mengenai layang-layang Kaghati Kolope.
Dapat disimpulkan bahwa layang-layang adalah salah satu produk budaya manusia yang memiliki sejarah panjang dan beragam.
Layang-layang tidak hanya menunjukkan kreativitas dan kecerdasan manusia dalam memanfaatkan angin sebagai alat terbang, tetapi juga mengandung nilai-nilai estetika, spiritual, sosial, dan ilmiah. Layang-layang juga menjadi salah satu media untuk mengungkapkan identitas dan ekspresi diri manusia.
Hal ini adalah bukti bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bermimpi dan mewujudkan mimpi tersebut. Layang-layang adalah simbol dari kebebasan, kegembiraan, dan harapan.
Saya harap artikel ini dapat memberikan informasi dan inspirasi untukmu yang tertarik dengan sejarah layangan.
Jika ingin melihat layang-layang Kaghati Kolope secara langsung, kamu bisa mengunjungi Pulau Muna dan mengikuti Festival Kaghati Kolope yang biasanya diselenggarakan pada bulan Juni atau Juli setiap tahunnya.