Sebagai seorang laki-laki yang tidak menyukai dan memainkan bola, berbagai macam cemoohan sudah saya rasakan sejak kecil.
Jangankan main, nama-nama klub, pemain liga dan tetek bengeknya aja nggak hapal. Mentok-mentok tau Ronaldo dan Messi. Itu pun taunya karena sering disebut orang. Tapi emang sesekali baca berita bola juga sii.
Saya jadi ingat tiap Sabtu saat sekolah dulu, hari di mana guru olahraga akan masuk ke dalam kelas sambil menenteng bola. Kemudian membagi murid laki-laki menjadi dua tim dan disuruh bertanding hingga jam pelajaran berakhir.
Tim saya selalu kalah, tapi hanya saya yang jadi bahan ejekan. Dikatain banci dan disuruh sunat dua kali. Karena sudah terjadi tiap minggu, saya kebal dengan ejekan tersebut.
Dari kejadian itu saya menyadari sebuah stigma, bahwa laki-laki dan sepakbola adalah dua hal yang seolah tak boleh dipisahkan.
Seseorang laki-laki akan dianggap kehilangan kelaki-lakiannya ketika tidak bisa bermain bola. Seakan-akan kelelakianmu harus dibuktikan oleh sejauh mana bola yang kamu tendang.
Kekuatan seorang laki-laki dipatokkan kepada Leonal Messi dan Christian Ronaldo. Apabila tidak “berkiblat” kepada mereka, maka sebaiknya laki-laki seperti itu mengenakan pakaian wanita saja!
Berawal dari anggapan “Perempuan lemah”
Sejujurnya saya masih bertanya-tanya, emang aneh yaa kalo laki-laki nggak suka main sepak bola? Kenapa banyak yang menganggap nggak normal, tidak asik, bahkan diabaikan di pertemanan?
Kan bebas yaaa seseorang minatnya ke mana. Walaupun saya pernah memaksakan dii untuk menyukai sepak bola sii.
Parahnya, jika ada laki-laki yang tidak menyukai main sepak bola.. dikatain “mending pakai rok aja kayak cewek!”
Kek… kok bisa?
Memang membingungkan, tapi awal mula ejekan laki-laki nggak suka sepak bola yang dihubungkan dengan “seperti perempuan”, ini bermula dari anggapan masyarakat. Bahwa wanita adalah mahluk lemah. Mereka tidak bisa bermain sepak bola layaknya laki-laki.
Di bayangan mayoritas, permainan sepak bola perempuan seperti pertunjukan badut. Orang-orang akan memvisualisasikan sekumpulan ibu-ibu dengan gerakan random menendang bola sambil memekik-mekik di tengah lapangan.
Menurut saya, anggapan dan bayangan seperti itu sama sekali nggak mashook!
Karena ada loh sepak bola yang dimainkan oleh atlet-atlet perempuan. Bahkan di Australia dan Selandia baru, dari 20 Juli lalu hingga 23 Agustus nanti berlangsung perhelatan Piala Dunia Wanita 2023.
Jika kamu membayangkan bahwa perhelatan ini sama seperti sepak bola dangdut di acara Agustusan, sepertinya kamu harus menyaksikan aksi pemain Barcelona Femeni, Alexia Putellas bersama Graham Hansen di goal terakhir dalam laga EUFA Women’s Champions League 2022, dalam laga Barcelona Femeni berhadapan dengan Real Madrid Femenino.
Skill kedua pemain tersebut sangat jauh dari kesan badut tadi. Jika boleh diadu, saya pikir mereka bisa menyeimbangkan angka setara dengan para pemain laki-laki.
Di Indonesia sendiri sebenarnya kita tidak kekurangan pemain sepak bola putri. Claudia Alexandra misalnya, merupakan salah satu penyerang terbaik dengan gol terbanyak dalam laga Piala AFF U-19 (2023) tempo hari.
Banyak artikel berita online melaporkan, remaja berusia 14 tahun ini “sukses menyarangkan sebanyak enam gol ke gawang lawan hampir di setiap pertandingan”.
Untuk urusan skill, para pemain tersebut tentu saja tidak kalah jauh dengan pesepak bola laki-laki.
Untuk menvisualisasikan gaya bermain Alexia Puttelas, barangkali kamu boleh membayangkan aksi Messi di lapangan hijau. Meskipun saya agak kurang setuju jika Alexia disamakan dengan mantan pemain asal Argentina itu.
Kaki kiri pemain Spanyol yang penah memenangkan penghargaan Ballon D’Or itu mampu membuat takut pemain lawannya, baik di kancah regional maupun internasional.
Atlet perempuan masih dipandang sebagai objek
Hanya saja kemampuan para pesepak bola perempuan ini masih tertutupi, selain oleh ingar-bingar perhelatan sepak bola laki-laki, juga stigma miring terhadap mereka.
Masyarakat belum bisa mempercayai sepak bola kepada perempuan karena dinilai tak memiliki fisik yang mumpuni untuk membawa bola sejauh seratus meter.
Bahkan tidak banyak yang mengetahui bahwa ada yang namanya Piala Dunia Wanita, kendati sudah dihelat sejak tahun 1991.
Selain itu, patriarki masih terus membayangi dunia persepakbolaan wanita. Lihatlah sehebat apapun para pemain itu berlaga, beberapa media masih saja mengekspos penampilan mereka sebagai bahan “jualan” berita.
Baca Juga: Sains Menunjukkan Cantik itu Tidak Relatif
Masih banyak tajuk berita yang berbunyi kurang lebih,
“Pemain sepak bola wanita tercantik”,
“Bangga, inilah pesepakbola wanita berjilbab”
dan “Gaya Seksi-Glamor Alexia Putellas Saat Terima penghargaan Ballon D’Or”
Para atlet perempuan masih saja dipandang sebagai objek. Alih-alih membicarakan kemampuan mereka, tidak sedikit media yang malah membicarakan penampilan tubuh dan pakaian yang mereka kenakan.
Sangat jauh berbeda ketika kita membicarakan kemampuan gocekan Mbape dan pesepak bola pesohor lainnya.
Ngeselin nggak siii
Melalui perhelatan Piala Dunia Wanita ini, kita mestinya sadar bahwa dalam segi kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda. Sepak bola bukan lagi masalah gender mana yang cocok memainkannya, melainkan masalah hobi. Jadi berhenti deh bilang perempuan lemah dan sepak bola cuma buat laki-laki!
Sudah bukan zamannya lagi mengasosiasi suatu cabang olahraga kepada gender tertentu, apalagi menggunakannya sebagai bahan diskriminasi gender.
Baca Juga: Uneg-uneg Guru Bahasa Jawa