Saat gelaran Piala Dunia 1986 Meksiko usai, seantero penduduk Argentina beramai-ramai memuja sang pahlawan, Diego Armando Maradona. Tim tango keluar sebagai kampiun untuk kedua kalinya dan Maradona tampil gemilang pada gelaran empat tahunan paling bergengsi dalam jagad sepak bola itu.
Aksinya pada laga perempat final melawan Inggris yang penuh kotroversi sekaligus mengundang banyak decak kagum menjadi salah satu momen yang akan selalu diingat dari karir sang legenda sepak bola.
Di laga tersebut, Maradona menciptakan dua gol bersejarah lewat kombinasi sempurna ‘tarian balet’ di atas lapangan serta aksi ikonik ‘gol tangan Tuhan’.
Apa yang dilakukan oleh pemain yang saat itu masih berusia 26 tahun ini benar-benar membuat segenap pemain dan pendukung The Three Lions akan berusaha melupakannya sesegera mungkin. Sebaliknya, bagi para pendukung Argentina, ini adalah awal dari sebuah pemujaan kolosal.
Lebih dari sekadar pahlawan, sosok Maradona juga dikultuskan. Pada 30 Oktober 1998, 3 fans asal Rosario, Hernan Amez, Hector Campomar, dan Alejandro Veron, mendirikan Gereja Maradona (La Iglesia Maradoniana).
Hari pendirian tersebut bertepatan dengan tanggal lahir sang ikon. ‘Maradonianos’, demikian mereka menyebut sekte kepercayaan ini.
Apa yang diperagakan sekelompok orang di kota Rosario tersebut barangkali memang tampak terlalu berlebihan. Sebuah bentuk pengaguman di luar batas wajar yang mungkin akan membuat banyak orang terheran-heran. Namun, kenyataannya memang seperti itu.
Hari ini sepak bola telah menjadi semacam keyakinan yang dianut para pemujanya dengan hasrat fanatisme tinggi. “Saya menyembah bola dan memperlakukannya seperti Tuhan,” demikian Pele berujar.
Sementara Maradona pernah mengatakan, “Sepak bola bukan cuma permainan atau cabang olahraga, sepak bola itu agama.”
Dan demikianlah diktum kedua legenda itu menubuh dalam kesadaran religiusitas orang-orang di kota Rosario. Lihatlah, betapa kultus Maradona telah membuat para jemaat Iglesia Maradoniana memuja dan melakukan doa-doa khusus untuk sang legenda.
Dikutip dari laman NSS Sports, para jemaat di Gereja Maradona mesti menaati 10 aturan dan ritual yang telah ditetapkan, antara lain:
- Bola tidak boleh kotor
- Cintai sepak bola di atas segalanya
- Deklarasikan cinta tanpa syarat untuk Diego serta untuk keindahan sepak bola
- Pertahankan seragam Argentina
- Sebarkan kabar keajaiban Diego ke seluruh alam semesta
- Hormati kuil tempat dia bekerja serta baju sucinya
- Jangan menyatakan Diego sebagai anggota tim mana pun
- Khotbahkan dan sebarkan prinsip-prinsip Gereja Maradona
- Jadikan Diego nama tengah Anda dan beri nama putra pertama Anda Diego
- Jangan hidup terasing dari kenyataan dan jangan menjadi sia-sia.
Keimanan yang Membuhul Jiwa
Jika melihat fenomena di atas, tidak menutup kemungkinan, di masa depan, akan ada agama-agama baru yang lahir dari pengkultusan individu atau glorifikasi terhadap suatu tim.
Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, dua sosok yang paling disegani publik sepak bola kini, bisa jadi suatu saat akan dikultuskan oleh para idolanya. Terlebih Messi, yang sukses membawa Argentina menjadi juara dunia pada 2022. Persis seperti apa yang dilakukan Maradona 36 tahun silam.
Sepak bola kini memang tak hanya dianggap sekadar olahraga fenomenal. Lebih dari itu, semacam telah menjadi agama, sebuah entitas pemujaan kolosal.
Para fansnya tenggelam dalam pesona filosofi bermain, semburat perayaan, serta kesatuan identitas. Hanya fans dengan keimanan tingkat tinggi terhadap klub yang dicintainya sajalah yang mampu menemukan hakikat bercinta dengan sepak bola.
Bukan fans karbitan yang berlalu lalang kemudian menghilang saat klub yang didukungnya kalahan. Ah, fans kardus yang sok-sokan meneriakkan kemenangan saat momen tertentu saja.
Persetan dengan fans macam itu! Seandainya dia berada di bawah naungan Gereja Maradona, dia barangkali akan menerima perlakuan seperti yang dialami Yudas Iskariot, murid Yesus yang berkhianat, yang disiksa dan dihukum mati.
Oleh sebab itu, kita perlu menghormati para fans yang benar-benar tulus. Orang-orang yang benar-benar mengimani klub kebanggaannya. Mereka serupa seorang mistikus yang telah merasakan hakikat menyatu dengan Tuhannya.
Pun, mereka yang seolah telah mencapai ekstase saat menonton sepak bola. Semuanya benar-benar terhanyut dalam semesta cinta.
Bukankah sebuah kecintaan yang sublim terhadap sepak bola yang membuat sastrawan kawakan Inggris, Nick Hornby, berkata dalam sebuah memoar sepak bolanya, Keranjingan Bola, “Aku jatuh cinta pada sepakbola seperti belakangan aku jatuh cinta kepada perempuan: tiba-tiba, tak terjelaskan, tidak kritis, dan tidak berpikir soal rasa sakit atau kekacauan yang akan disebabkannya.”
Maka, kecintaan itu pula yang telah membikin semenjana sisi paradoksal dalam diri seorang fans. Di satu sisi, kecintaan kadang membikin orang berperilaku destruktif. Kecintaan berlebih terhadap suatu tim atau idola membikin orang alpa terhadap sekitarnya.
Bahkan, tragedi demi tragedi serta perpecahan yang terjadi dalam sepak bola pun awalnya berangkat dari kecintaan yang berlebih. Dari suatu keimanan yang terlalu membuhul jiwa.
Tragedi Kanjuruhan, misalnya, justru bermula dari cinta yang berlebih yang diperagakan sekelompok orang ketika masuk ke arena lapangan untuk menyemangati para pemain Arema yang kala itu takluk 3-2 dari Persebaya.
Apa motif mereka turun lapangan kalau tidak didasarkan pada cinta? Ini hanya salah satu contoh saja. Di belahan dunia lain, di mana tragedi sepakbola terjadi, saya berani bertaruh semua itu bermula dari cinta. Dari pemujaan kolosal para pendukungnya.
Memilih Jalan Cinta yang Ala Kadarnya
Demikianlah sepak bola. Ia serupa agama yang dipuja secara kolosal. Sesuatu yang disebut oleh teolog Lutheran, Paul Tillich, sebagai ‘The Ultimate Concern’. Hal yang begitu mendalam mempengaruhi jiwa dan emosi manusia. Karena ia begitu mendalam mempengaruhi jiwa dan emosi manusia, maka ia menjadi sesuatu yang sensitif.
Ada keimanan dan fanatisme yang menubuh kuat pada diri para pemeluknya. Tak pelak, ketika ada orang yang menistakan agama tertentu, langsung memicu reaksi yang meledak-ledak dari para penganutnya. Itulah agama yang dengan segala persoalannya terkadang cenderung menimbulkan konflik.
Begitu pun sepak bola. Ketika ada fans klub lain mengejek klub kita, apa yang akan kita lakukan? Ya, apalagi kalau bukan perlawanan.
Sebab, sepak bola telah jadi kesadaran religius bagi para pendukungnya. Terbangun dini hari bukan untuk sholat malam, melainkan untuk menonton klub maupun idola berlaga. Suatu bentuk ritus totalitas terhadap klub kebanggaan. Tak peduli kalah atau menang.
Sebab, intinya adalah pemujaan. Barangkali, kita akan mengamini pernyataan Darius Rucker, seorang penyanyi-penulis kondang cum fans berat sepak bola, yang menganggap bahwa hanya ada dua waktu dalam hidupnya, yaitu musim sepak bola dan waktu menunggu musim itu tiba.
Cinta dan iman yang tulus yang menjadikan sepak bola bukan hanya sekadar tontonan, namun juga tuntunan. Jika tidak dengan keimanan yang melampaui perhitungan akal, tentu kita tidak akan melakukan pengorbanan luar biasa.
Daily Mail tentu tidak akan mencatut nama Stuart Astill sebagai fans paling berdedikasi di Inggris Raya jika bukan karena pengorbanannya menonton sebanyak 2.534 pertandingan Nottingham Forest semasa hidupnya sejak 1956.
Kini, sepak bola telah menuntun penggemarnya menerobos belantara kehampaan, kegetiran nasib, serta kemonotonan realitas hidup yang itu-itu saja. Itulah sepak bola. Tempat berbagai bentuk misteri sekaligus penanda sakralitas. Tempat di mana seorang fans mengaktualisasi cintanya. Cinta yang jadi spirit pembangun jiwa.
Akhirnya, saya akan menutup tulisan ini dengan pernyataan, “cinta dalam sepak bola menyatukan sekaligus memisahkan.” Cinta yang memisahkan berpuncak pada tragedi pertumpahan darah, tangis, penyesalan, hingga hukuman.
Sebaliknya, cinta yang menyatukan justru berakhir pada solidaritas persaudaraan antar fans. Larut dalam euforia sepak bola tanpa memenggal rasa kemanusiaan. Inilah hakikat pemujaan kolosal yang mesti diperagakan para fans.