Membaca tulisan Yolanda Tasya Amalia “Membaca Ulang Cerita Rakyat Kita Setelah Dewasa”, saya jadi kepikiran. Jangan-jangan seiring bertambah dewasa, kita jadi kehilangan hal penting yang kita miliki saat kecil dulu. Rasa penasaran misalnya.
Keinginan untuk mencari tahu itu tergerus oleh rutinitas orang dewasa yang menjemukan. Apalagi di usia di mana kita rawan untuk merasa paling tahu dan malas untuk mempertanyakan ulang.
Sehingga saat membaca ulang sebuah cerita dongeng, kita kehilangan diri kita sendiri di masa lalu. Diri kecil kita yang memiliki kesenangan dan ketertarikan untuk terus penasaran dan mencari tahu.
Lantas kita menuding bahwa dongeng itu nggak masuk akal. Padahal bisa jadi dongeng menyimpan hal yang lebih mendalam yang nggak terbaca oleh nalar dewasa kita yang menjemukan.
Membaca adalah proses yang kompleks
Semasa kecil dulu, guru bahasa yang budiman sudah mengajari kita bagaimana cara membaca. Tapi apakah kita benar-benar membaca? Rasanya kok kita cuma diajari cara mengeja dan melafalkan, tapi tidak dengan membaca.
Maksudnya betul-betul membaca. Yaitu mampu memahami masalah, menafsirkan, mengkorelasikan, lalu mengambil kesimpulan.
Dalam jurnal “What Is Reading? An Excerpt from Reading for Understanding” oleh Schoenbach dkk. pada tahun 2000, bahkan disebutkan bahwa membaca adalah proses problem solving.
Artinya menghubungkan pengetahuan soal konteks, lingkungan, dan sosial sampai akhirnya timbullah pemahaman. Pemahaman yang muncul itu bersifat menyeluruh namun juga personal.
Personal untuk setiap orang yang membacanya, dan menyeluruh karena ada pemaknaan baru setiap kali dibaca. Itulah mengapa, biarpun yang dibaca sama, penafsirannya pasti berbeda.
Dari situ, saya menduga bahwa kita sebagai manusia dewasa bisa saja salah membaca sebuah dongeng karena kita tidak berupaya benar-benar membaca sepenuhnya.
Baca Juga: Mengapa Kita Perlu Memperingati Hari Dongeng
Membaca ulang cerita rakyat
Membaca berarti memahami. Termasuk memahami konteks budaya dari sebuah cerita.
Membaca dengan sudut pandang orang pada masa itu menjadi penting untuk memahami sebuah teks naratif. Penting diingat bahwa teks selalu dibatasi oleh konteks.
Mengingat bahwa masyarakat animisme kuno-Nusantara khususnya, sangat menyukai simbol. Kita perlu memahami bagaimana simbah kita dulu dengan cerdasnya memasukkan pesan dengan sangat halus ke dalam sebuah cerita.
Misalnya saja karakter anjing dalam kisah Sangkuriang itu bisa jadi bukan hewan anjing beneran. Namun simbol seorang penjaga, pesuruh, atau pembantu istana yang bertugas menemani Dayang Sumbi namun akhirnya jatuh cinta kepada sang putri.
Si anjing mungkin saja masih keturunan raja di masa lalu namun karena suatu sebab harus turun kasta dan nggak bisa join lagi sama circle-nya. Oleh karena itu disebutkanlah bahwa si anjing merupakan titisan dewa.
Ngerti sendiri kan bahwa raja-raja di masa lampau sering mengaku sebagai keturunan dewa. Yaps! Dari dulu agama emang alat paling yahud sekaligus problematik buat berpolitik.
Pembunuhan terhadap tokoh si anjing bisa berarti Sangkuriang menolak mengakui bahwa ia memiliki ayah yang bukan bangsawan, tanpa si anak menyadari bahwa ayahnya masihlah keturunan raja. Sehingga marahlah si ibu dan Sangkuriang beneran dicoret dari KK.
Sementara itu, menikahi si ibu bisa dimaknai sebagai keinginan Sangkuriang yang ingin “menyucikan darahnya kembali” dan ingin masuk ke lingkungan keluarga kerajaan.
Capek jadi sobat misqueen kali yaa.
Karena dosa Sangkuriang, bagi si ibu, keinginan anaknya itu sangat sulit dipenuhi, ibarat hendak membangun gunung dan membuat danau dalam semalam.
Jangan-jangan, itulah yang sebenarnya terjadi namun oleh simbah kita dulu dibungkus dengan apik seolah-olah kisahnya adalah sebuah mitos yang berkaitan dengan terciptanya gunung, manusia setengah dewa, dan kutukan.
Cara bertutur seperti ini menunjukkan kehalusan dan kedalaman dari seorang sastrawan di masa lampau.
Lain lagi dengan kisah Timun Mas. Jika dari kisah Tangkuban Perahu kita bisa melihat drama yang tersembunyi dengan halus, dari Timun Mas saya melihat kisah perlawanan kelas. Bagaimana jika karakter Timun Mas diciptakan sebagai simbol pertentangan terhadap penguasa daerah?
Meski si Buto Ijo bisa dibilang hanya menagih janji, raksasa ini adalah representasi dari tuan tanah, rentenir tiran, atau lintah darat. Makanya pelarian Timun Mas bisa dibilang sebagai pembebasan nasib atas kekuasaan yang menindas.
Bisa kebayang kan, bahwa ada tokoh gadis yang anarkis, rebel, dan mendambakan kebebasan tertuang dalam cerita rakyat yang dibacakan kepada anak-anak se-Indonesia. Memang negeri kita adalah tanah anarki.
Jika ada sinetron Indonesia yang mengangkat tema perlawanan kelas semacam Timun Mas, kayaknya bakalan asik ditonton.
Selesai membaca, saatnya membacakan
Berhubung sinetron Indonesia berisi sampah dan tidak ramah anak, ada baiknya anak-anak kita dibacakan cerita dongeng saja ketimbang ditinggal nonton teve atau YouTube sampai ketiduran.
Sama seperti membaca dari teks, cara membacakan anak sebuah cerita sebelum tidur juga tak kalah pentingnya.
Sebab ada dialog yang terjadi. Anak-anak itu punya segudang pertanyaan soal apapun. Sehingga cerita yang dipandang biasa saja bagi awam bisa jadi rumit saat ditanyakan oleh anak.
Misalnya prinsip soal dualitas antara baik dan buruk. Yang paling kentara ada pada kisah Bawang Merah dan Bawang Putih.
Soal cerita Bawang Merah dan Bawang Putih, banyak yang membandingkan kisah ini dengan cerita Cinderella atau Putri Arabella. Namun nyatanya sangat berbeda. Setidaknya ada 3 hal yang saya notice.
Pertama adalah gender dalam kisah ini. Mulai dari protagonis si Bawang Putih, antagonisnya, yaitu Bawang Merah dan Ibunya, sampai pada tokoh plot armor tukang scam si nenek tua yang memberi labu ajaib, kesemuanya adalah perempuan.
Mungkin universe dalam cerita ini seperti dunia Barbie yang tokoh laki-lakinya dungu. Jarang banget loh, cerita rakyat yang semua tokohnya adalah perempuan.
Baca Juga: Yang Bisa Kita Pelajari dari Negative Self Talk Anna Sasaki dalam “When Marnie Was There”
Poin kedua adalah ending dari kisah ini, di mana biasanya tokoh baik akan selalu menang dan tokoh jahat selalu kalah. Bahkan menerima azab yang pedih.
Namun ending di kisah Bawang Merah dan Bawang Putih itu berakhir damai. Si Bawang Putih memaafkan saudari dan ibu tirinya, sementara si Bawang Merah menyesali kesalahannya.
Betapa kita melihat kebijaksanaan leluhur nusantara di dalam kisah ini. Saya jadi ingin sungkem kepada simbah pembuat cerita.
Poin terakhir adalah karakter Bawang Merah. Awalnya ia arogan, lalu marah saat kena prank nenek tua, dan diakhiri dengan penyesalan serta penerimaan atas kesalahannya. Ia melalui semua fase di five stages of grief dalam sebuah kisah yang nggak lebih dari 5 menit kalo dikisahkan.
Character development Bawang Merah Justru lebih baik ketimbang Bawang Putih, atau bahkan Bella di Twilight sepanjang 3 sekuel film-nya.
Oleh karena itu saya lebih suka menceritakan karakter Bawang Merah sebagai representasi manusia yang utuh. Ia punya ambisi, kadang berbuat salah, lalu menerima masa lalunya.
Poinnya, karakter Bawang Merah ini tidak melulu dijadikan contoh buruk untuk anak. Gunanya agar ia tak memandang hidup dengan pandangan sebatas hitam putih dan terlampau kaku saat memahami konsep dualitas.
Baca Juga: Kebaya: Bentuk Rasis yang Diperhalus