Akhir-akhir ini, FYP soal day in life working in startup company sudah tidak muncul lagi di TikTok ataupun Instagram saya. Entah algoritma dua aplikasi di atas yang berubah, atau nampaknya status karyawannya yang berubah.
Bisa jadi content creator yang membuat FYP demikian, sudah mendapat ilham, bahwa bekerja di startup tidak seindah pencitraannya di sosmed.
Trend awal berkembangnya perusahaan startup di Indonesia, bisa dikatakan dimulai di tahun 2015. Tahun di mana dilansir oleh techinasia, ada 62 startup yang mendapatkan kucuran dana segar dari investor dalam dan luar negeri. Sebut saja Mataharimall.com, Qerja, Bukalapak, Ralali, Alodokter, Kitabisa, sampai efishery.
Dengan momentum itu, di tahun yang sama Menkominfo menargetkan akan memacu pertumbuhan technopreneurs di Indonesia hingga mencapai 1000. Seperti Gol D Roger yang memacu pertumbuhan bajak laut di One Piece menjelang eksekusinya, strategi Menkominfo ini berhasil.
Bahkan, keberhasilan ini Jokowi pamerkan di momen ASEAN Business and Investment Summit 2021. Presiden asal Solo itu mengklaim Indonesia telah memiliki 2.229 startup.
Secara kuantitas mungkin terlihat ‘Wah’ pada saat itu. Tapi bagaimana dengan kualitasnya?
Tech Winter Dingin Banget
Tech winter atau bahasa Indonesia-nya musim dingin teknologi, adalah fenomena yang menggambarkan kelesuhan perusahaan-perusahaan teknologi untuk bertahan dan menjalankan aktivitasnya. Karena beberapa investor sudah mulai menuntut modal yang telah mereka suntikan, setidaknya menunjukkan cahaya profit di neraca keuangan.
Melihat hal ini, saya jadi teringat istilah bakar-bakar duit. Sepertinya yang punya duit sudah sadar, duitnya sudah jadi abu.
Target yang diserang tidak pandang bulu, baik yang sudah berusia lama seperti Google, Facebook, dan Twitter, sampai startup-startup lokal seperti Gojek Tokopedia, Tanihub, Linkaja, JDID, kitabeli, dan banyak lagi.
Fenomena ini dimulai di pertengahan tahun 2022, dan saya pikir, sudah berakhir di kuartal pertama tahun 2023. Tapi ternyata, Juni ini Grab mengumumkan mem-PHK 1000 karyawannya. Sekitar separuh dari jumlah karyawan yang GoTo PHK. Disusul OLX group yang memangkas 800-an karyawannya.
Baca Juga: Fenomena Startup di Indonesia: Berlomba-Lomba Jadi Pemimpin, Lah Terus Pengikutnya Siapa?
Alasannya beragam, mulai dari kenaikan suku bunga, resesi, restrukturisasi perusahaan, pendanaan yang ditahan, kebijakan investor, sampai ketidakseimbangan neraca perusahaan. Imbasnya sama: PHK massal.
Jika karyawan yang terdampak merupakan anak sultan atau setidaknya punya double job (sangat dimungkinkan dengan sistem WFA), mungkin akan tidak masalah. Cash flow mereka masih aman-aman saja. Tapi bagaimana dengan karyawan lurus yang mungkin bagian dari sandwich generation? Akan kelabakan pastinya.
Apalagi di Twitter ada mantan karyawan startup yang nge-spill bahkan beberapa bulan setelah dirinya kena PHK, gaji dan THR belum dibayarkan. Loh ga bahaya ta?
Alhasil yang paling menggigil di tengah tech winter ini pastilah karyawannya.
Apa sih Umbi Permasalahannya?
Di mana ada api, di situ ada asap, atau kebalikannya. Begitu kata pepatah (asal klaim) yang pernah saya baca.
Berarti, munculnya tech winter pun pasti ada penyebabnya. Opini ini mungkin akan jadi sangat panjang (atau fana, karena gak selesai-selesai), jika saya bahas dari sisi makro ekonomi kah, resesi kah, suku bunga AS kah, The Fed kah, atau Pemilu 2024 hehe
Jadi melalui kaca mata orang awam, ini yang bisa saya asumsikan.
Pitch Deck Keren, Tapi Kere Eksekusi
Saya jadi teringat ucapan pendiri JD.com yang memarahi para eksekutifnya dengan kalimat, “direktur ga becus, cuma jago power point,”
Kalimat ini memang tidak ditujukan langsung untuk para pendiri atau top management startup lain, namun setidaknya ada nilai penting yang bisa dijadikan kritik pribadi. Apakah bisnis startupyang sedang dijalankan memang se-keren pitch deck a.k.a PPT yang mereka buat? Atau terlalu banyak impian tak tergapai di sana? Bahasa sederhananya terlalu melangit-langit.
Bisa jadi juga, konsep aplikasi yang mereka buat tidak berdasarkan data riil di lapangan. Namun hanya berasarkan data yang sudah tersedia di internet atau badan riset. Bukan berarti tidak percaya data di internet ataupun riset lembaga, tapi meskipun kita sekarang hidup di jaman Big Data, yang mana semuanya bisa di-data-kan, namun tidak semuanya telah di-data-kan secara ‘akurat’. Kek mana tuh?
Contoh kasusnya adalah apa yang pernah dibagikan oleh akun instagram ecommurz. Komunitas para pekerja teknologi itu pernah membagikan DM yang berisi keengganan salah satu top management aplikasi, yang targetnya membantu UMKM khususnya Warung Klontong, untuk terjun langsung ke lapangan melihat kejadian aktualnya.
Baca Juga: Tips Jadi Bapak yang Jenaka ala Etgar Keret
Top Management itu beralasan ngapain ke warung kalo sudah ada datanya. Padahal menurut whistle blower itu, data yang dijadikan acuan, terindikasi fraud karena bisa dilihat dari IP address akun yang sama dan melakukan transaksi berulang.
Nah kalau udah gini, apa guna pintch deck keren?
VC Royal, Tapi Asal
Ini kita bicarain soal VC ya, bukan VCS (Video Call Smart hehe) ataupun VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, aka perusahaan multinasional yang pernah menjajah ada di Indonesia, wow). VC atau kepanjangannya venture capital, menurut google, adalah pihak yang menanamkan modal pada perusahaan untuk membantunya terus berkembang. Simpelnya: yang suka ncus … ncus … startup.
Menyambung di sub tulisan sebelumnya. Pitch Deck yang keren, namun kere hanya akan berakhir menjadi sebuah-file-di-dalam-folder-di-dalam-SSD-di-dalam-Macbook Air M1, jika, dan hanya jika, VC menolak untuk membiayainya!
Namun sayang seribu sayang, keroyalan VC-lah yang membuat pitch deck menjadi nyata. Ingat kasus Zume, startup robot pizza yang didanai 7,5 Trilyun, atau kasus Theranos, startup diagnosis darah yang valuasinya 120-an Trilyun.
Mereka berdua sama-sama kandas, dan uang yang terbakar sudah menjadi abu.
Baca Juga: Mencurigai Spongebob Sebagai Antek Kapitalis
Tentu kerugian uang dengan jumlah yang mungkin bisa menenggelamkan Singapur dengan cendol itu, tak akan terjadi kalau para VC menerapkan ideologi VCS: Venture Capital Smart. Yang mungkin syarat pertama pitch deck bisa masuk dan dipresentasikan adalah: Kalau asal jangan usul, kalau usul gak boleh asal, xixixi ngakak abiiez.
Rekrut dahulu, Lay Off Kemudian
Kebiasaan ini sering dilakukan banyak startup di kala baru saja mendapatkan pendanaan. Dengan dalih mempercepat pertumbuhan (growth) mereka melakukan perekrutan dengan begitu ganas, tanpa memperhitungkan dengan matang.
Bukan berarti growth tidak bisa dijadikan acuan, tidak begitu. Tapi yang namanya perusahaan, tujuan utamanya adalah profit. Sehingga premis dasarnya, adalah bagaimana kita mendapatkan basis growth pengguna yang tidak semu, agar terkonversi sebagai profit. Yang ketika promo tiada, mereka tidak menghilang.
Nah ketika ternyata growth yang dinanti ketika melakukan perekrutan massal tidak tercapai, maka solusi yang dianggap rasional bagi mereka adalah lay off (PHK).
Back to Basic, Tidak Semua Butuh Aplikasi!
Kita semua pasti sadar, selain banjir informasi, kita juga menghadapi banjir aplikasi. Mulai dari aplikasi keuangan, layanan ojek online, game, editing, social media, sampai kesehatan. Tapi saya yakin ga semuanya kita gunakan secara rutin. Apalagi ada satu atau dua yang kita download hanya untuk promo satu kali.
Dari itu saja kita bisa melihat, bahwa dalam skala prioritas, ada aplikasi yang sebenernya diciptakan gak urgent-urgent amat. Bukan problem solver. Padahal awal kemunculan aplikasi berangkat dari sebuah revolusi untuk memecahkan masalah sehari-hari.
Bisa jadi juga, aplikasi yang di-design dengan niche yang terlalu niche, gimana tuh? Yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan solusi sederhana. Lewat chat di whatsapp misalnya. Seperti ketika kita memesan galon di langganan. Atau membeli di pedagang sayur mobil box yang tiap hari keliling perumahan.
Memang namanya berusaha pasti ada yang gagal dan ada yang berhasil. Namun dengan riset mendalam (juga turun ke lapangan), berangkat dari problem yang mendasar, serta tidak menghambur-hamburkan uang ketika baru saja mendapatkan pendanaan, akan memperkecil peluang gagalnya perusahaan.
Sehingga dinginnya tech winter tidak akan datang lagi di masa depan. Dan tergantikan dengan tech summer berkepanjangan.