Bagi saya, orang Indonesia sangat mencintai dirinya sendiri, bahkan untuk sesuatu di luar diri mereka. Nasionalisme misalnya. Harga diri bisa terinjak-injak kalau ada bule yang menghina rendang. Contoh lain, penduduk negara tetangga mengklaim budaya yang ada di Indonesia sebagai budaya negaranya.
Kalau mereka punya akun media sosial, kolom komentar akan dibanjiri sumpah serapah sampai kolom komentarnya ditutup. Ada puluhan kasus serupa yang menunjukan betapa galaknya orang Indonesia jika negaranya dihina. Saya yakin sebagian dari kita juga akan bereaksi yang sama.
Melihat fenomena ini, nampaknya konsep nasionalisme NKRI “harga mati” derajatnya setingkat dengan harga diri. Persamaan ini yang menyatukan kita sampai sekarang.
Persamaan lainnya, misalnya di kultur sosial. Termasuk di dalamnya cara berinteraksi, cara memandang dunia, hingga cara (ini yang paling mirip): menyelesaikan permasalahan psikologis secara bersama. Baik melalui curhat, diskusi, musyawarah, atau bergosip.
Ini saya duga dipengaruhi media. Media memberi opsi bagaimana berperilaku sebagai orang Indonesia modern. Jadi bisa saja tetangga yang suka gosip itu cangkem-nya mirip seleb yang sering nyinyir di televisi.
Tiap masalah dibicarakan di publik. Meski kadang sampai kepada hal-hal pribadi yang sebetulnya tidak perlu.
Lantas di tengah kultur yang serba terbuka itu, bagaimana orang Indonesia mencintai diri mereka?
Self-Love di Indonesia
Orang Indonesia itu gemar menikmati dirinya sendiri dalam bentuk perayaan. Ada yang murni individu, dengan memberi reward kepada diri sendiri seperti beli barang, liburan, atau minimal me time.
Ada perayaan individu namun disemarakkan dengan perayaan sosial, seperti pesta kenaikan jabatan, pesta wisuda, syukuran rumah baru, syukuran karena anak melanjutkan studi ke luar negeri, sampai syukuran jadi pejabat. Intinya, pencapaian “baru akan paripurna jika dirayakan”. Dunia harus tahu!
Budaya kita diam-diam memfasilitasi riya’ dalam bentuk yang lebih sistematis dan terselubung melalui pesta dan syukuran (selain mengharapkan berkah). Maka tidak heran, kesempatan ini seringkali digunakan sebagai ajang mempertontonkan kekuasaan.
Tak mengherankan jika kemudian urusan personal selalu bersinggungan dengan urusan komunal. Di negara yang budayanya melibatkan banyak aktivitas komunal, kita dipaksa menjadi tahan gunjingan. Bahkan, untuk urusan personal sekalipun.
Anak tetangga belum nikah bisa jadi perbincangan sekampung. Mereka ikut pusing memikirkan nasibnya, termasuk detail-detailnya: faktor-faktor kenapa menjomblo, kondisi keuangan, atau bahkan mempertanyakan orientasi seksual anak tersebut.
Sebetulnya, mereka itu kurang kerjaan apa ya?
Baca Juga: Meminta Maaf Itu Murah, Maka Berhenti Saja!
Dari sini, kita belajar bahwa self love di Indonesia itu rumit. Kepentingan sosial kadang lebih utama ketimbang individu.
Sebagai contoh, pembuat konten mandi lumpur yang viral di TikTok. Diberitakan Detik, uang hasil jerih payahnya malah digunakan untuk membeli dua motor sport.
Apakah ini bodoh? Saya malah mencurigai sebaliknya.
Bisa saja dia tidak masalah dengan urusan perut atau rumahnya yang gedhek. Dia barangkali sudah berdamai dengan keadaan itu hingga merasa tidak ada yang salah dengan rumah dan kehidupannya.
Hal utama yang dipikirkannya adalah bagaimana teman-temannya kagum dengan dua motor sport yang dia beli dari mandi lumpurnya itu. Pujian serta decak kagum dari publik lebih berarti dari segala-galanya.
Coba lihat, ia memberi perhatian lebih pada orang lain ketimbang dirinya sendiri. Ia mengorbankan waktu dan tenaganya buat bikin konten menghibur. Semua dilakukan semata-mata untuk membuat orang-orang berpikir bahwa dia baik-baik saja.
Misinya lebih luas lagi: menempatkan dedikasi sosial di atas segala-galanya. Perilaku ini benar-benar mencerminkan filosofi “hiduplah untuk hari ini, seakan tidak ada hari esok” secara all out.
Tapi, bukannya kita perlu menjunjung hak pribadi seperti yang digaungkan dalam kampanye di negara-negara maju. Mengekspresikan self-love secara merdeka, independen, dan tidak terdikte tuntutan sosial. Bebas memilih child free atau menjadi LGBTQ.
Toh tidak banyak yang sewot. Tapi agaknya susah membayangkan kultur kita begitu.
Soal support system, Indonesia punya potensi melimpah
Antropolog Clifford Geertz pernah menjelaskan konsep “shared poverty” yang menjadi salah satu penghambat kemajuan ekonomi di Indonesia.
Geertz bilang kalau sektor pertanian kita stagnan akibat budaya membagi kemiskinan (shared poverty) di kalangan petani. Mereka tidak begitu mementingkan peningkatan penghasilan selama kawan-kawannya bisa ikut kerja. Solidaritas bersama justru lebih diutamakan daripada peningkatan hasil pertanian.
Di satu sisi konsep ini justru menjadi solusi dari kemiskinan. Artinya petani lain bisa ikut makan meski sedikit-sedikit, daripada tidak sama sekali.
Konsep ini juga kita temui dalam permasalahan psikologis. Penanganannya persis sama: “dibagi dan ditanggung bersama” atau minimal terpikirkan oleh orang lain. Makanya, ada mekanisme seperti rumpi, gosip, dan ghibah. Pekerja sesibuk apapun selalu ada waktu untuk ber-ghibah ria melampiaskan keresahannya.
Konsep ini juga punya fungsi lain. Di kampung saya, jika pasutri tidak memiliki keturunan. Maka sanak saudaranya yang punya anak lebih akan memberikan salah satunya untuk menjadi anak angkat pasutri tersebut.
Cara ini sangat cerdas meski membutuhkan kelapangan hati tingkat malaikat untuk bisa melakukannya. Mekanisme semacam ini membantu menutup celah-celah psikologis yang berpotensi membuat anda terkucilkan dari lingkungan sosial.
Support system ini penting dalam mendukung kualitas kesehatan mental di Indonesia. Apalagi kita sangat kekurangan praktisi kejiwaan. Dikutip dari Tempo, dari keseluruhan populasi, negara kita hanya memiliki 773 psikiater dan 451 psikolog klinis.
Permasalahan ini juga melibatkan pemerintah karena nyatanya tingkat kebahagiaan masyarakat sangat bergantung dari kondisi negaranya.
Kita beruntung masih punya pranata sosial organik seperti ulama, paranormal, teman nongkrong yang suka nyelathu maupun tetangga yang suka rasan-rasan. Mereka hadir saat keresahan butuh diungkapkan. Mereka hadir dengan optimisme, motivasi, maupun sugesti.
Meski tak sempurna, setidaknya bisa sedikit meringankan situasi negara yang serba kekurangan. Bayangkan jika pendukung sosial non-pemerintah seperti ini hancur. Masyarakat bisa goyah.
Pemerintah dalam hal ini tidak boleh terlalu lama membiarkan permasalahan mental ditopang oleh pranata sosial yang rapuh ini. Jangan dikit-dikit diserahkan sepenuhnya pada rakyat.
Ekonomi anjlok, rakyat malah disuruh menanam tanaman sendiri tanpa menuding kebijakan-kebijakan dalam pengelolaan pangan misalnya. Rakyat depresi, malah disuruh healing tanpa melihat kebijakan di perusahaan yang jam kerjanya berlebihan atau pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja yang layak bagi masyarakatnya.
Jika terus begini, kesannya kaum-kaum terprentah disuruh menyelamatkan dirinya sendiri. Terus guna pemerintah apa? Mari pikir baik-baik, apa yang perlu dikuatkan dari fungsi bernegara.
Kalau masyarakat sih, saya yakin mereka selalu mencari mekanismenya sendiri. Tentu tak boleh kelewat lama, sebab pranata sosial yang dibangun masyarakat itu rawan dimanfaatkan segelintir orang.
Saya kira masyarakat masih berharap besar pada negara dan ingin negara hadir. Meski pemerintah ada kekurangan sana-sini, toh kita tetap santai sambil dangdutan.
Mau senang, mau sedih, pokok’e joget!