Saya ingin menyambung opini dari Mikail Gibran dengan judul pedas: “Dua Syarat Kerja Paling Jancuk”. Saat ini, setelah 5 tahun tulisan tersebut terbit, syarat kerja yang bikin misuh itu bukannya berkurang, justru malah makin bertambah.
Di masa di mana marak startup, AI udah jadi barang umum, dan work-life balance udah jadi awareness, syarat kerja malah makin jancuk.
Apalagi pasca pandemi banyak pengangguran ‘berusia’ yang keok dihantam gelombang layoff besar-besaran dan juga cepatnya turn-over di lingkungan pekerjaan.
Hal ini membikin saya geram dan menyadari bahwa ada kultur rekrutmen di negeri ini yang nggak masuk akal. Justru malah makin jauh dari cita-cita mengentaskan pengangguran.
Baca Juga: Dua Syarat Kerja Paling Jancuk
Indonesia Negara Ageisme
Syarat usia maksimal dalam lowongan kerja yang terlalu rendah (rata-rata 25 tahun) merupakan bukti nyata Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi ageisme, yaitu diskriminasi berdasarkan usia.
Mikail Gibran dalam opininya menyebutkan bahwa semakin tua usia, semakin nggak lagi cekatan dan sulit belajar, dan itu adalah anggapan tanpa dasar yang dilontarkan para HRD lapangan kerja.
Seakan ada anggapan konyol di kepala HRD perusahaan Indonesia soal kemampuan berdasar usia. Sehingga sering terjadi senioritas yang eksploitatif.
Jangan lupa bahwa ada yang namanya “remaja jompo,” casing muda onderdil tua. Mudah capek dan nggak kuat dibawa nanjak. Plus biasanya rewel.
Mindset ageisme ini nggak akan membawa kita ke mana-mana. Ujung-ujungnya karyawan muda yang ‘rewel’ justru nggak perform, dan pengangguran berusia di atas 25 tahun malah membludak.
Baca Juga: Fenomena Startup di Indonesia: Berlomba-Lomba Jadi Pemimpin, Lah Terus Pengikutnya Siapa?
Status Perkawinan yang Jadi Penghalang
Selain pemuja berat ageisme, Indonesia juga bisa dibilang sebagai negara yang logika rekrutmennya nggak jalan, contoh nyatanya adalah status perkawinan. Malahan yang dicari adalah yang masih lajang.
Di negara-negara maju udah nggak ada yang menyinggung status perkawinan, malah kalo di Jepang, “saudara tua” Indonesia, bahas status perkawinan itu tabu banget.
Selain itu, bukannya yang butuh pemasukan itu yang sudah nikah, lebih-lebih sudah punya anak. Justru tuntutan menafkahi keluarga bisa mendorong pekerja biar lebih produktif.
Kalo yang dicari cuma yang belum nikah, ini sama saja bikin orang yang sudah berkeluarga hidup dalam kondisi enggak menentu, justru bakal melahirkan konflik sosial dan ekonomi!
Bekerja di Bawah “Penekanan”
Syarat “mampu bekerja di bawah tekanan” ini seperti perbudakan terselubung. Kesannya harus kuat mental demi ambisi perusahaan yang ujung-ujungnya juga untuk menambah profit perusahaan.
Yang pasti, frasa ‘bekerja di bawah tekanan’ artinya bikin pekerja tertekan. Kalau belum tertekan pasti ditambah beban kerja di luar kemampuan. Hal in bisa bikin pelamarnya jadi takut, malas, dan malah nggak jadi kerja.
Sekarang eranya aware dengan kesehatan mental, bukan lagi berbicara soal materi. Makanya ada yang namanya work-life balance. Survey dari Randstad Workmonitor mengungkapkan bahwa sekitar 40% Gen Z memilih untuk menganggur daripada nggak bahagia di tempat kerja.
Kerja itu Soal Skill, Bukan Teori
Di zaman serba praktis ini, rupanya masih banyak HRD yang full senyum kalo pelamar punya nilai IPK 3,00 ke atas karena dianggap cerdas dan kompeten. Sementara yang punya IPK di bawahnya jelas dilupakan.
Bayangkan, ditolak bahkan sebelum first meet hanya gara-gara IPK satu koma.
Ya, ini adalah kultur justifikasi kecerdasan purba, orang yang IPK-nya tinggi pasti bisa memecahkan masalah. Padahal IPK hanya menilai kemampuan lulusan tentang teori, sementara di dunia kerja enggak sejalan dengan teori.
Apa jangan-jangan HRD mencari IPK yang tinggi biar dapat karyawan yang yesman dan manut-manut saja?
Cari Pengalaman kok Malah Disuruh Berpengalaman?
Syarat yang paling bikin jengkel adalah “Memiliki pengalaman kerja minimal 1 tahun”, “Diutamakan yang sudah berpengalaman”, atau kalimat lain yang maknanya serupa, wajar kalo ini saya sebut syarat kerja paling jancuk!
Kenapa? Selain mendapatkan penghasilan, orang mencari kerja itu dalam rangka mencari pengalaman kerja, terutama bagi fresh graduate atau orang career switching yang belum punya pengalaman kerja di bidang lain.
Yang jadi pertanyaannya adalah, kalo semua lapangan kerja memberi syarat maunya yang sudah berpengalaman, terus yang mau cari pengalaman kerja ke mana coba, masa dari Yutub?
Syarat menjengkelkan ini sudah jelas membuktikan kalo lapangan kerja maunya serba instan, enggak tahu antara enggak bisa atau mau untuk mengajari yang miskin pengalaman atau takut tersaingi kalo tempat mereka jadi batu loncatan.
Mindset pengen instan dan kultur berbasis profit aja.
“Makanya ikut magang biar dapat pengalaman kerja”
Masalahnya pelik. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) aja baru dicanangkan 3 tahun lalu. Berarti generasi sebelumnya enggak kecipratan.
Cuma sayangnya, pemerintah terlalu fokus mencetak lulusan era MBKM siap kerja, sementara yang sebelum-sebelumnya masih terlunta-lunta kirim lowongan, belum lagi nasibnya digantung karena enggak kunjung dikabari.
Program pra-kerja yang lalu aja udah kaya asap, puff. Ilang gitu aja, nggak kepake.
Lalu apa kabar yang usianya terlewat, IPK rendah, juga awam pengalaman kerja? Maka jangan salah kalau kultur rekrutmen kerja di Indonesia itu nyatanya bikin misuh.
Baca Juga: Oppenheimer dan Masa Depan Riset Indonesia