Sepak bola Indonesia yang begitu-begitu saja, sak jane merupakan hal yang suporter kita sudah pada tahu loo. Kebanyakan dari mereka sekarang sudah pada cerdas dan sudah mengetahui sejauh mana kualitas Timnas Indonesia. Misalnya, ada di peringkat berapa di FIFA, berapa kali lolos Piala Asia dan berapa kali jadi runner-up di Piala AFF.
Tenaaan kui, kita tahu dan menyadari itu kok!
Oke, coba kita bongkar satu-satu yaaa kenapa menjadi suporter Timnas Indonesia cabang olahraga sepak bola itu tidak mudah. Pertama, sebenarnya para suporter kita tahu (ngerti bangaat malaah!) kualitas kita seberapa. Dimulai dari peringkat FIFA kita saat ini yang, walaupun naiknya tidak oke-oke banget, berada di urutan 150 per tanggal 29 Juni 2023.
Kekalahan dari Argentina dan hasil imbang lawan Palestina kemarin membuat kita turun satu peringkat, sebelumnya 149, atau yang tertinggi sejak 2011 yakni peringkat 142.
Baca Juga: Sepak Bola Menyimpang Takdir
Pada level Asia Tenggara, Indonesia sudah 3 kali meraih medali emas Sea Games, yaitu pada tahun 1987, 1991, dan 2023. Kurang 13 lagi agar bisa mengejar perolehan medali emas Thailand di peringat 16. Di ajang Piala AFF, prestasi terbaik kita ialah menjadi runners-up sebanyak lima kali. Limaa kali looo! Jan kebacut!
Naik ke tingkat Asia, kita yaaa tahu bahwa Indonesia pernah empat kali secara beruntun lolos ke Piala Asia, yaitu tahun 1996, 2000, 2004, dan 2007. Yang terakhir itu pun berkat menjadi tuan rumah royok’an bareng-bareng Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Hasilnya? Yaa mentok di fase grup saja. Tapi, untuk sekelas level Asia hal itu patut disyukuri. Setelah 3 kali absen di ajang 4 tahunan ini, kita akhirnya berhasil lolos ke Piala Asia 2023 lewat jalur kualifikasi, setelah keluar sebagai salah satu runner up terbaik. Lalu, bagaimana dengan prestasi tingkat tertinggi, Piala Dunia misalnya?
Alhamdulillah, semenjak resmi menyandang nama Indonesia, kita belum pernah sekalipun lolos ke Piala Dunia. Pernahnya lolos ke Olimpiade Melbourne 1956. Meskipun demikian, Indonesia sebenarnya pernah lho lolos ke Piala Dunia. Namun, saat itu kita masih berstatus sebagai jajahan Belanda dan memakai nama Hindia-Belanda ketika mengikuti Piala Dunia 1938.
Jadi, kurang sabaar piye suporter sepakbola Indonesia? Apa perlu sampai 100 tahun kita terus menunggu dan mendukung timnas Indonesia?
Tapi, ini untuk Timnas di level senior yaa. Kalau di level kelompok usia, baru-baru ini ada berita mengagetkan terkait terpilihnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U17. Seperti yang kita sama-sama sudah ketahui status tuan rumah Indonesia di ajang Piala Dunia U20 sebelumnya, dibatalkan gara-gara ada yang menolak kedatangan Timnas Israel, heleeh.
Untuk ukuran Piala Dunia kelompok usia, Indonesia sebenarnya pernah lolos sampai fase grup meskipun tidak bertindak sebagai tuan rumah. Ini tepatnya terjadi pada ajang Piala Dunia U20 1979, di era Bambang Nurdiansyah, Mundari Karya dan lain-lain. Tim merah putih saat itu mendapat ‘durian runtuh’ setelah 2 negara yang harusnya menjadi wakil Asia, yaitu Irak dan Korea Utara, sama-sama menarik diri dari turnamen.
Kemudian, kalau bicara soal pencapaian lain di kelompok usia, pada tingkat Asia Tenggara prestasi kita lumayanlaah. Pada tahun 2013 Evan Dimas dan kawan-kawan berhasil menjuarai Piala AFF U19 di Sidoarjo.
Lima tahun berselang, giliran Bagus Kahfi dan kawan-kawan yang berhasil menjuarai Piala AFF U16. Prestasi ini kembali terulang pada 2022, di mana skuad binaan Bima Sakti berhasil keluar sebagai juara. Tapi nahas, Arkhan Kaka dan kawan-kawan selanjutnya malah tersingkir pada ajang yang lebih penting, yaitu kualifikasi Piala Asia U17 2023, setelah kalah 1-5 dari Malaysia.
Di level kelompok usia yang lebih tua, Piala AFF U22, Indonesia meraih gelar juara pada tahun 2019. Saat itu kita berhasil mengalahkan Thailand di partai final dengan skor 2-1.
Dari sederet hasil pencapaian di atas, yang menjadi pertanyaan adalah apakah cukup hanya begitu? Apakah cukup hanya berprestasi di level Asia Tenggara dan sesekali mencatatkan pencapaian di tingkat Asia? Apa sih tuntutan kita sebagai suporter untuk Timnas Indonesia yang lebih baik lagi?
Tentu impian kita lolos ke Piala Asia 2023 sudah terjadi dan harapan untuk lolos dari fase grup terus digaungkan tinggi-tinggi. Tindakan PSSI untuk mereformasi diri patut untuk diacungi jempol. Namun, gimmick-gimmcik keberhasilan pun rasanya harus dikontrol, mengingat Erick Thohir merupakan salah satu kandidat kuat calon wakil presiden di Pemilu 2024 yang akan datang.
Dalam soal membangun kualitas skuad, kita tentu senang ada pemain keturunan yang mau berpindah menjadi warga negara Indonesia. Apalagi naturalisasi yang dilakukan di era Shin Tae-yong memang mulai menunjukkan pemilihan yang tidak sembrono.
Namun, jangan pernah lupa bahwa pembinaan usia dini itu koentji! Kompetisi usia dini pada jenjang amatir ataupun profesional layak untuk segera diteruskan. Wes apik sekarang ada Elite Pro Academy dari tahun 2018, 2019, 2021, dan 2022.
Selain itu, untuk PSSI, format kompetisinya yaa perlu diperbaiki juga. Kalau perlu ambil direktur kompetisi profesional dari negara-negara yang sepak bolanya sudah maju kayak Jerman atau Inggris.
Tapi dengar-dengar katanya calon direktur teknik PSSI sudah mengerucut menjadi enam kandidat dari jumlah sebelumnya yaitu 20. Semoga dapat dirtek dengan kualitas terbaik yaa.
Baca Juga: Pensiunnya Nomor Punggung Jude Bellingham di Birmingham City dan Pilihan Dilematis yang Membuntuti
Lalu, terkait usaha-usaha lain yang telah dilakukan, tentu saja hal itu patut kita apresiasi. Seperti program Garuda Select yang mengirim pesepakbola kita untuk belajar ke Inggris di bawah naungan Denise Wise, mantan pemain Chelsea yang juga kandidat kuat ‘pendamping’ Bima Sakti di tim garuda muda jelang Piala Dunia U17.
Akan tetapi, usaha-usaha itu semua yaa bakal sia-sia kalau PSSI tidak bisa secara kontinyu memperbaiki diri, walaupun kita mendapatkan kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia U17. Dari perbaikan citra (jan paling parah sih ki), perbaikan kompetisi, dan menghilangkan faktor politis yang sangat kental di dalam tubuh PSSI sendiri.
Jadi tolonglah, perbaiki kompetisi usia dininya dulu dan perbanyak pencari bakat profesional di Indonesia agar kita mampu menemukan talenta-talenta terbaik. Usaha ini masih belum terlihat jelas di kepengurusan yang baru, meskipun cukup terbukti di era sebelumnya, yaitu era Edy Rahmayadi dan Iwan ‘Bule’.
Hadirnya kompetisi yang berkelanjutan perlu dilakukan agar muncul bibit-bibit baru. Contoh nyatanya seperti Saddam Ghaffar (PSS Sleman), Marselino Ferdinan (KMSK Deinze), ataupun Arkhan Kaka (Persis Solo).
Baca Juga: Menunggu Pembuktian Barisan Mantan
Sebab, akan sia-sia kalau kita hanya bergantung pada satu event besar, namun tidak memiliki kejelasaan kompetisi kedepannya. Apalagi banyak pihak berharap ajang ini bisa menjadi peredam situasi politik yang akan mulai panas disekitaran bulan Oktober 2023 – Maret 2024.
Lebih berbau politis ketika GBK yang sejatinya dipersiapkan untuk Piala Dunia U20 akan digunakan untuk konser Coldplay tanggal 15 November 2023, di mana acara itu bersamaaan pula dengan gelaran Piala Dunia U17 yang akan mulai tanggal 10 November – 2 Desember.
Kabarnya, Erick Thohir dan Sandiaga Uno bersaing untuk mendapatkan kursi cawapres pendamping antara Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto. Pastinya, kita berharap semua kondusif dan acara Piala Dunia U17 benar-benar bisa menjadi peredam suasana yang sepertinya akan sangat kental klaim sana sini tentang keberhasilan event ini di Indonesia.
Mari kita nantikan bersama-sama!